Bisnis, JAKARTA – PT Adaro Energy Tbk optimistis bahwa pemerintah tidak akan mengurangi luas konsesi tambang batubara milik perusahaan kendati emiten berkode saham itu akan berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus atau IUPK.
Saat ini, Adaro Energy merupakan perusahaan pemegang perjanjian karya pengusaha pertambangan batubara (PKP2B) Generasi I. Kontrak Adaro akan berakhir pada 2022. Setelah kontrak berakhir, pemerintah akan memberikan perpanjangan kontrak, tetapi berubah menjadi IUPK.
Sampai saat ini, Adaro Energy masih menunggu revisi keenam Peraturan Pemerintah No.23/ 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minral dan Batubara yang akan lebih banyak mengatur soal perpanjangan kontrak tambang.
Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk, Garibaldi Thohir optimistis PP tersebut tidak akan mengurangi luas wilayah lahan tambang dari perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang akan berubah status menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Emiten berkode saham ADRO itu berstatus sebagai PKP2B Generasi I.
Menurutnya, hanya pemegang izin usaha pertambangan (IUP) baru yang dibatasi luas wilayah ambang maksimal 15.000 hektare (ha). Luas konsesi Adaro saat ini sekitar 34.940 ha.
Dia meyakini bahwa sebagai perusahaan tambang yang telah beroperasi sejak 1982, kontrak Adaro akan diperpanjang tanpa mengurangi luas lahan. Hal inipun diakui tidak akan mempengaruhi produksi batubara Adaro.
Adaro terus berupaya untuk meningkatkan produksi batubara kokas yang berkalori tinggi.
Kontrak Adaro Energy akan habis pada 2022. Dalam peraturan sebelumnya, pengajuan perpanjangan kontrak PKP2B baru bisa dilakukan 2 tahun sebelum kontrak habis.
Pemerintah akan sangat adil, kalau misalnya mineral asing saja dapat fasilitas, apalagi pemain batubara umumnya 99% perusahaan nasional, katanya.
Direktur Produksi dan Operasi Adaro Mohammad Syah Indra Aman memastikan bahwa pembatasan lahan seluas 15.000 ha hanya berlaku untuk IUP baru. Sementara itu, Adaro termasuk dalam perusahaan generasi satu yang pasti luas wilayah tambang akan disetujui oleh pemerintah.
Kalau kami sudah menyampaikan rencana tambang untuk seluruh wilayah kami berapapun besarnya dan disetujui bisa ditambang, se-efisien mungkin, lingkungan terjaga, silahkan tetap mempertahankan wilayah, katanya.
Adaro menargetkan produksi batubara pada 2019 sebanyak 54 juta – 56 juta ton dengan target laba sebelum Pajak dan bunga sebesar US$1 milliar – US$1,2 milliar.
Garibaldi Thohir mengatakan, perseroan tetap menyesuaikan serapan batubara untuk produksi dalam negeri atau domestik market obligation (DMO) berdasarkan target yang diberikan pemerintah, yakni 25% dari total produksi.
Pada 2018, total volume penjualan batubara mencapai 54,39 juta ton atau naik 5% dibandingkan dengan 2017. Pangsa pasar penjualan batubara Adaro ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mencapai 39% dari total penjualan. Sisanya sebesar 30% dijual ke pasar Asia Timur, China 14%, dan India 11%.
Dia mengakui, saat ini Adaro sedang berupaya pasar baru untuk ekspor. Permintaan batubara dari Thailand turun karena kebutuhan Negara tersebut yang mulai beralih ke energy baru terbarukan dalam memenuhi kebutuhan listrik.
Menurutnya, Vietnam menjadi pasar baru terdekat yang kemudian dijajaki untuk menggantikan penurunan eksport ke Thailand. Walaupun, Vietnam sebenarnya telah menjadi pasar ekspor batubara Adaro. “Jadi Vietnam lagi bangun PLTU, Kamboja juga, Malaysia juga bangun, Bangladesh juga lagi bangun. Jadi keseluruhan permintaan itu masih cukup ada, katanya.
Dia mengakui bahwa laba sebelum Pajak (earning before interest, taxes, depreciation, and amortization/ EBITDA) pada 2019 tidak akan naik dari tahun lalu. EBITDA Adaro pada 2018 mencapai U$1,4 milliar atau naik 38,19% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
KALORI TINGGI
Selain itu, Adaro menargetkan produksi batubara kalori tinggi atau cooking coal pada 2019 bisa mencapai 4 juta ton yang berasal dari tambang Adaro Metcoal Companies di Kalimantan Tengah maupun tambang Kestrel di Australia yang baru diakuisisi pada tahun lalu.
Direktur produksi Adaro Energi Chia Ah Hoo memerinci, pada 2019 produksi cooking coal dalam negeri akan mencapai 1 juta ton. Produksi cooking coal dari Tambang Kestrel akan mencapai 3 juta ton. Produksi Tambang Kestrel memang ditarget meningkat 40% pada tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu.
Garibaldi Thohir mengatakan, perseroan akan bisa bertahan jika meningkatkan produksi cooking coal. Perseroan akan berupaya untuk meningkatkan kontribusi pada Tambang Kestrel agar Adaro tidak hanya bermain pada batubara termal atau kalori rendah saja.
Selama kuartal I/2019, tambang Kestrel memproduksi 1,8 juta ton dan menjual 1,6 juta ton batu bara kokas keras. Batubara Kestrel terutama dijual ke para pelanggan di pasar Asia yakni sebanyak 48% ke Adaro Energi dan 52% EMR Capital Ltd, sebagai pemegang 80% kepemilikan Kestrel.
Adaro Energi optimistis dengan pasar batubara di Asia terutama dari India yang diprediksi akan mencatat pertumbuhan impor tertinggi pada 2019.
Permintaan impor batubara India telah meningkat sekitar 6 juta ton pada kuartal I/2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Peningkatan permintaan terhadap batubara ini di dominasi oleh sektor industri dan upaya pemerintah untuk menghindari gangguan pasokan listrik sebelum pemilu.
Garibaldi Thohir mengatakan, selain India, Negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia juga diprediksi akan meningkatkan impor batubara seiring dengan kemajuan dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga uap.
Hingga kuartal I/2019, 40% penjualan batubara dikirim ke Asia Tenggara, 30% Asia Timur, 14% India, 12% China, dan 3% Eropa.
N. Putu Eka Wiratmini
redaksi@bisnis.com