Sengketa antara PT Freeport Indonesia (PT FI) dan Ditjen Bea Cukai Kementrian Keuangan berbuntut panjang.
Selain tengah mengajukan upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung (MA), Bea Cukai masih harus menghadapi 128 banding yang masih berproses di Pengadilan Pajak.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kementrian Keuangan tahun 2018, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat beberapa temuan yang berpotensi merugikan Negara triliunan rupiah.
Potensi kehilangan penerimaan Negara tersebut bermula dari adanya perbedaan tafsir mengenai tarif bea keluar antara kedua belah pihak. Pemerintah menetapkan tarif bea keluar bagi PT FI sebesar 7,5% dengan mengacu pada ketentuan dalam PMK 13/2017.
Sementara itu, PT FI berpegangan pada sejumlah komitmen yang telah dicapai dengan pemerintah diantaranya nota kesepahaman yang ditandatangani tanggal 31 Maret 2019. Dalam nota kesepahaman itu tarif yang dikenakan atas ekspor tembaga hanya 5%.
Alhasil berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan BPK terhadap 109 dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) yang dikeluarkan selama 2018, PT FI hanya membayar bea keluar 5%.
Total nilai bea keluar yang dibayarkan oleh PT FI dari 109 PEB tersebut Rp 2,7 triliun. Namun, di lapangan atas pemberitahuan tersebut pihak otoritas kepabeanan tetap mengenakan tarif terhadap PT FI sebanyak 7,5%.
Argumentasi dari Bea Cukai, penentuan tarif 7,5% tersebut didasarkan pada Surat Persetujuan Ekspor (SPE) dari Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementrian Perdagangan dengan nomor 03-PE-08.18.0004 tanggal 19 Januari 2018, yang menyebutkan pembangunan fasilitas pemurnian tembaga (smelter) Freeport Indonesia hanya 2,43%.
Padahal, sesuai dengan ketentuan beleid tersebut, jika pembangunan smelter kurang dari 30% maka tarif yang dikenakan kepada pihak eksportir sebanyak 7,5%. Dari sinilah sengketa kemudian bermula. PT FI kemudian membawa sengketa tersebut ke tingkat keberatan. Namun demikian, semua keberatan yang disampaikan PT FI ditolak Bea Cukai.
Tak patah arang, PT FI kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Total banding yang diajukan sebanyak 148, dimana 20 diantaranya telah mendapat putusan dan 128 lainnya masih berproses.
Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama menekankan dasar pembayaran bea keluar PT FI tetap mengacu pada nota kesepahaman yang telah ditandatangi dengan pihak pemerintah.
Rupanya upaya banding PT FI menampakkan hasil. Pengadilan Pajak mengabulkan 20 banding PT FI senilai Rp 204 miliar.
Kalah di pengadilan, pihak otoritas kepabeanan mulai memikirkan langkah hukum lanjutan. Berbekal argumentasi dari PMK 13/2017, Bea Cukai kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap 20 putusan dari Pengadilan Pajak ke Mahkama Agung. Peninjauan kembali tersebut telah diajukan sejak April 2019.
Di dalam hasil pemeriksaannya, BPK menganggap bahwa nota kesepahaman yang di dalamnya memuat substansi sebesar 5% bertentangan dengan tarif yang ditetapkan oleh Kementrian Keuangan.
BPK juga meminta Bea Cukai untuk menghadapi gelombang gugatan banding sebanyak 128 maupun 20 putusan pengadilan pajak yang dimenangkan PT FI.
Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi menegaskan, produk hukum jauh lebih mengikat ketimbang nota kesepahaman. Ini lah yang menjadi dasar Bea Cukai melakukan pungutan atas ekspor tembaga yang dilakukan PT FI maupun perusahaan lain di Indonesia. (Tegar Arif)
Nota Kesepahaman antara Kementrian ESDM dan PT FI. Bertentangan dengan tarif yang telah ditetapkan Kementrian Keuangan sehingga terdapat potensi pengembalian bea Keluar sebesar Rp 1,8 triliun.
7,5% Bea Cukai 5% Freeport
Dalam menghitung target penerimaan bea keluar TA 2018, Kemenkeu tidak memperhitungkan potensi peningkatan bea keluar sebagai dampak diterbitkannya PMK Nomor 13/PMK.010/2017.
PT FI selalu memberitahukan bea keluar dengan tarif 5%, sedangkan PT AMNT memberitahukan bea keluar dengan tarif 7,5%.
KPPBC TMP C Amamapare dan Kanwil DJBC Khusus Papua mengenakan tarif bea keluar bagi PT FI sebesar 7,5%.
PT FI mengajukan keberatan dan banding atas penetapan tarif bea keluar sebasar 7,5% serta terdapat potensi restitusi sebesar Rp 1,8 triliun.
DJBC mengajukan peninjauan kembali atas 20 putusan Pengadilan Pajak.
Beda Tafsir
Sumber: audit BPK