Nofrizal Sihin, salah seorang kurator Bahtera Adimina Samudra, mengatakan bahwa dari hasil penelusuran, tim kurator telah menemukan adanya aset berupa tanah dan bangunan di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat.
Untuk budel pailit tersebut, jelasnya, untuk menjualnya dan kini dalam tahap appraisal (taksiran nilai) untuk dimasukkan ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Sorong. Sementara itu, menurutnya, sejumlah aset lainnya milik perusahaan yang dahulunya terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode emiten BASS itu juga masih dicari. Apalagi, lanjutnya, tim kurator juga memperoleh informasi bahwa terdapat aset berupa kapal yang berada di salah satu provinsi di Sulawesi.
Kami terus mencari aset-aset mereka. PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) yang dialami BASS ini memang unik ya, karena mereka perusahaan tidak punya pabrik, tetapi lokasi aset-asetnya seperti kapal terpencar-pencar.
Terkait dengan kepailitan Bahtera Adimina, Nofrizal menjelaskan proposal perdamaian yang ditawarkan perusahaan itu ditolak oleh para kreditur konkuren memilih menolak berdamai, menyusul jangka waktu pembayaran utang yang ditawarkan Bahtera Adimina terlampau lama.
Selain itu, imbuhnya, kinerja perusahaan juga sudah berada dalam situasi sulit setelah tidak lagi beroperasi sejak 2018, sehingga kreditur menilai tidak ada harapan bagi Bahtera Adimina untuk bisa membayar utang-utangnya. Di saat voting para kreditur menolak, tidak setuju berdamai. Pailitnya itu Desember 2018.
NILAI UTANG
Menurut dia, ada perubahan nilai utang Bahtera Adimina pasca dinyatakan insolvensi atau tidak mampu membayar utang bila dibandingkan dengan hasil verifikasi piutang saat PKPU sekitar Rp198,59 miliar. Seingat saya (nilai utang) mengalami penambahan karena bunga saat PKPU dari kreditur separatis itu mengalami kenaikan dengan bunga sejak diputuskan pailit, kata Nofrizal.
Bahtera Adimina sebelum pailit berada dalam masa PKPU setelah terbukti memiliki utang kepada pemohon PT Esadhani Agung dan PT Bangun Pratama Interbuana yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kedua perusahaan yang memohonkan PKPU adalah mitra kerja yang memasok barang untuk mengerjakan kapal-kapal milik Bahtera Adimina.
Esadhani dan Bangun memohonkan PKPU dengan perkara No. 138/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst pada 3 September 2018. Setelah diputuskan PKPU oleh majelis hakim, Bahtera Adimina menjalani PKPU dengan tagihan setelah verifikasi sebanyak Rp198,59 miliar, yang mencakup piutang milik PT Bank Negara Indonesia Tbk. sebagai kreditur separatis sebanyak Rp198,26 miliar.
Adapun total utang kepada dua kreditur konkuren sebanyak Rp332,19 juta, yang terdiri dari piutang Esadhani Agung Rp295 juta dan Bangun Pratama mencapai Rp37,19 juta.
Foor Good P. Manik, selaku kuasa hukum Esadhani Agung dan Bangun Pratama Interbuana sebelumnya mengatakan bahwa Bahtera Adimina memiliki utang yang tidak terbayarkan selama 5 tahun kepada kliennya. Dengan diajukan dalam permohonan PKPU, imbuhnya, diharapkan Bahtera Adimina bisa melunasi utang-utangnya melalui skema restrukturisasi utang di pengadilan.
Hingga berita ini diturunkan, kuasa hukum Bahtera Adimina Harry Syahputra enggan berkomentar kepada Bisnis terkait dengan perkara pailit perusahaan tersebut.
Dari laporan keuangan yang ditelusuri oleh Bisnis per 31 Desember 2009, Bahtera Adimina pernah mengalami masa sulit. Sebanyak 34 dari 42 kapal perusahaan tidak beroperasi sejak 2008 hingga 2009. Sebanyak 34 kapal besi penangkap ikan berukuran kurang lebih 300 gross ton, 75 gross ton, tidak beroperasi pada 2007.
Ketika itu kapal tidak dapat beroperasi karena pencabutan izin operasional kapal oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, kenaikan harga bahan bakar minyak dan, peraturan yang dinilai tidak kondusif bagi bisnis perikanan.
Selain itu, otoritas BEI juga secara resmi menghapus pencatatan saham (delisting) BASS sejak 25 Agustus 2008. Pasalnya, selama 2 tahun saham BASS mengalami suspense karena tidak adanya kegiatan operasional perusahaan.
Sumber: Bisnis Indonesia, Rabu, 30 Oktober 2019