Belum lama ini, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres 63/2019). Perpres 63/2019 tersebut diberlakukan sebagai peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera Nasional, Bahasa, Lambang dan Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009).

Banyak pasal-pasal yang menarik perhatian dari warga Indonesia berkaitan dengan Perpres yang dikeluarkan pada 30 September 2019. Perpres tersebut dinilai telah menimbulkan keresahan bagi para pemangku kepentingan (stakeholder) terutama pelaku bisnis Indonesia.

Keresahan tersebut antara lain karena adanya persyaratan untuk menggunakan Bahasa Indonesia pada nama merek dagang dan/atau merek jasa yang berupa kata atau gabungan kata yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Perpres No.63/2019.

Terkait pengaturan untuk menggunakan Bahasa Indonesia dalam penggunaan merek dagang milik warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia sebetulnya juga telah diatur dalam Pasal 36 ayat (3) Undang-undang No.24/2009.

Namun, pada praktiknya hingga saat ini Direktorat Merek dan Indikasi Geografis, Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kantor Merek) masih menerima permohonan pendaftaran merek yang menggunakan istilah asing atau gabungan dari istilah asing sebagai merek dagang atau merek jasa yang diajukan oleh warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia. Bahkan tidak sedikit merek-merek tersebut terdaftar bahkan setelah diundangkannya UU No.24/2009.

Dengan diterbitkannya Perpres 63/2019, banyak menimbulkan pertanyaan terutama dampak serta konsekuensi dari ketentuan tersebut terhadap permohonan pendaftaran merek dagang dan/atau merek jasa yang saat ini masih dalam proses pendaftaran dan merek-merek tersebut menggunakan kata atau gabungan dari kata asing.

Dalam Perpres tersebut tidak ada penjelasan serta kepastian bagaimana nasib merek dagang dan/atau merek jasa yang sudah terlanjur diajukan dan masih dalam proses pendaftaran sebelum Perpres 63/2019 terbit. Para pemangku kepentingan mempertanyakan bagaimana dengan nasib permohonan merek dagang dan/atau merek jasa apakah akan berdampak negatif yang merugikan terhadap portofolio merek dagang dan/atau jasa mereka.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan tidak mengatur sanksi atau akibat hukum dari tidak dipenuhinya kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam suatu merek dagang dan/atau jasa. Namun Perpres 63/2019 itu juga belum memberikan penjelasan akan hal tersebut.

Sejak diundangkannya UU No. 24/2009 sampai dengan saat ini, tidak ada pedoman yang berlaku untuk para pemeriksa merek dagang dan/atau merek jasa di Kantor Merek (Direktorat Merek dan Indikasi Geografis) dalam mengimplementasikan ketentuan ini.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek), di mana selama tidak melanggar ketentuan dalam Pasal 20 dan 21 UU Merek, suatu merek yang memiliki daya pembeda dari merek-merek yang sudah terdaftar sebelumnya, termasuk merek-merek yang mengandung unsur kata asing dapat didaftarkan pada Kantor Merek.

Setelah berlakunya Perpres 63/2019, Kantor Merek diharapkan dapat mempersiapkan pendekatan yang tepat dan sesuai untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut, tanpa harus merusak kepentingan itikad baik dari pemilik merek dagang dan/atau jasa.

Namun demikian, selama tidak ada pedoman yang berlaku, maka praktik merek dagang dan/atau merek jasa di Indonesia untuk warga negara/badan hukum Indonesia seharusnya akan tetap sama dan mengacu pada ketentuan yang berlaku pada Undang-undang Merek.

Siti Mariam Nabila

Sekjen Institut Pandya Astagina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *