Bisnis, JAKARTA – Kementerian Komunikasi dan Informatika mengajukan permohonan dan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI, dengan tuntutan agar kementerian itu dikeluarkan dari daftara kreditur PT Internux.
Kementerian yang dipimpin oleh Rudiantara itu menyatakan telah memiliki bukti baru atau novum bahwa anak usaha PT First Media Tbk tersebut tidak lagi memiliki izin frekuensi radio sebagai penyelenggara telekomunikasi di wilayah Republik Indonesia. Kepala sub Bagian Bantuan Hukum Dirjen Sumber Daya, Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) kemenkominfo Fauzan Riyadhani mengatakan, izin terhadap PT Internux sudah di cabut karena perusahaan itu tak kunjung membayar biaya hak penggunaan (BHP) Frekuensi. “Kami [ajukan] PK meminta supaya kominfo dikeluarkan dari kreditur PKPU [Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang] internux. Kami masih keberatan dengan perjanjian perdamaian yang lalu karena masa kami harus menunggu 10 tahun grace period, baru Internux membayar tunggakannya, “ kata Fauzan kepada Bisnis, Kamis (27/6). Menurut dia, apabila PK dari Kemenkominfo dikabulkan maka harapannya kementerian itu tidak lagi terikat apapun untuk menagih tunggakan BHP frekuensi kepada PT Internux. Dengan demikian, lanjutnya, Kemenkominfo juga bisa setiap saat ,enagih tunggakan tersebut kepada internux melalui Putusan PK dengan dasar hukum yang Kuat. Selain itu kata dia, internuex mau tidak mau tentunya harus patuh terhadap tagihan dari Kemenkominfo. Internux diketahui belum memenuhi kewajiban pembayaran BHP frekuensi sejak 2016 sebesar Rp 343,5 miliar. Frekuensi ini untuk para penyelenggara broadband Wireless Access (BWA) di spektrum frekuensi 2,3 GHz. “Pencabutan izin [kepada internux] sudah sesuai dengan undang-undang. Bahwa penyelenggara telekomunikasi harus membayar utangnya,’’ kata dia.
Dalam homologasi perdamaian, Kemenkominfo ditetapkan sebagai kreditur konkuren. Hal itu yang membuat Kemenkominfo keberatan karena semestinya merupakan kreditur preferen, yaitu institusi negara yang sama dengan kreditur preferen lain yakni kantor pajak. Namun, dalam perjanjian perdamaian itu tertulis Kemenkominfo harus memperpanjang izin frekuensi radio yang diberikan kepada internux dan tidak boleh Kemenkominfo mencabut izin usaha tersebut karena perusahaan terlambat dalam membayar tunggakan BHP frekuensi.
PENCABUTAN IZIN
Padahal, pencabutan izin Internux dilakukan dengan dasar Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 9/2018 tentang ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Pada Pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa izin berlaku selama 10 tahun. Namun, pada pasal 21e disebutkan bila tagihan belum dilunasi, pemerintah berhak mencabut izin penggunaan frekuensi. Lebih lanjut, kewajiban pembayaran BHP frekuensi harus dilunasi maksimal 24 bulan setelah jatuh tempo. Bila tak kunjung dilunasi, pencabutan izin pita frekuensi radio dilakukan setelah samksi administrasi dan pengenaan denda dilakukan. Internux sebelumnya dimohonkan PKPU oleh Equasel selaras dan Intiusaha Solusindo dalam perkara No. 126/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst di Pengadilan Negeri (PN) Niaga Jakarta Pusat, pada 20 Agustus 2018. Dalam memohonkan PKPU, Equasel selaras memegang tagihan piutang Rp 3,21 miliar dan inti usaha solusindo mempunyai piutang sebanyak Rp 940,61 Juta. Pengadilan akhirnya mengabulkan permohonan PKPU dan menyatakan Internux dibelenggu PKPU. Namun ternyata, Internux mampu menyelesaikan PKPU sementara selama 45 hari karena dalam agenda pemungutan suara para kreditur mayoritas menerima proposal perdamaian. Saat itu, Presiden Direktur Internux Dicky Mochtar berharap agar proposal perdamaian yang diajukan diterima oleh kreditur. Menurutnya, perusahaan ini meyakini memiliki rencana strategis bisnis yang menjanjikan apabila proposal perdamaian diterima bisa membuat kinerja keuangan perusahaan membaik dan utang kreditur terbayarkan. Dicky memaparkan, Bolt sebagai produk 4G Long Term evolution (LTE) dari rumah ke rumah dan akan mengurangi pelayanan pelanggan bergerak ata mobilty.
PKPU Internux kemudian dinyatakan sah homologasi perdamaian oleh pengadilan Negeri Jakarta Pusat Rabu (14/11) tahun lalu. Majelis haki, mangadili, perdamaian dikabulkan karena hasil pemungutan suara PKPU memenuhi syarat UU No. 37/2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Dalam agenda pemungutan suara, sebanyak dua kreditur separatis yang hadir memberikan suara menyatakan setuju dengan jumlah 22.600 suara. Namun, satu kreditur separatis lainnya, memilih menarik diri dalam voting tersebut. Adapun, suara dari kreditur konkuren yang hadir dalam pemungutan suara sebanyak 274 kreditur dan kreditur yang menyatakan setuju sebanyak 358.257 suara. Kreditur konkuren yang menolak berdamai dengan Internux sebanyak 91.532 suara. Sesuai dengan UU No.37/2004 tentang kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang , untuk kreditur separatis sudah memenuhi syarat ½ suara dan kreditur konkuren juga memenuhi syarat 2/3 suara dari total suara yang hadir. Dengan demikian, Internux berhasil lolos dari ancaman Kepailitan, kendati Kemenkominfo tetap pada pendiriannya menolak proposal perdamaian yang ditawarkan oleh Internux. Sebelumnya, Kemenkominfo juga sempat melanjutkan keberatannya terhadap homologasi perdamaian PT Internux dengan melayangkan memori kasasi ke Mahkamah Agung.
Sumber: Bisnis Indonesia, Jumat, 28 Juni 2019