Bisnis, JAKARTA – Upaya PT Mahakarya Agung Putera untuk keluar dari belenggu penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) telah kandas.

Pasalnya, proposal perdamaian yang ditawarkan oleh pengembang properti tersebut ditolak mayoritas krediturnya dalam rapat dengan agenda pemungutan suara yang digelar pada 19 Agustus 2019 lalu. 

 Selanjutnya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam amar putusannya mengesahkan penolakan perjanjian kreditur dan menyatakan bahwa Mahakarya Agung Putera (MAP) pailit pada 22 Agustus 2019.

 Pengadilan dalam putusannya juga mengangkat Pengurus PKPU Paulus Lubis dan Syapril Wibisono menjadi kurator kepailitan MAP.

 Paulus mengatakan, penolakan proposal perdamaian MAP karena para kreditur tidak percaya dengan solusi yang ditawarkan oleh MAP. Dalam skema pembayaran, kata dia, ada dua solusi yang ditawarkan MAP, yaitu pertama, pengembalian dana sebesar 40% dalam jangka waktu 24 bulan hingga 35 bulan.

 Skema kedua adalah kreditur ditawarkan pembayaran dari penjualan unit apartemen hingga 50%, tetapi menunggu apartemen selesai dibangun.

 Adapun, apartemen yang dibangun MAP adalah Grand Eschool Residence dan Aston Karawaci City Hotel.

 “Kreditur sudah tidak percaya lagi dengan debitur. Memang ada investor baru dikenalkan MAP 3 minggu sebelum pemungutan suara. Ya karena tidak percaya, ditolak,” kata Paulus kepada Bisnis, Rabu (11/9).

 Setelah dinyatakan pailit, imbuhnya, tim kurator segera melaksanakan agenda kepailitan MAP, dengan mengumumkan rapat kreditur dan verifikasi tagihan utang piutang.

 Namun demikian, menurutnya, tim kurator juga sudah memulai pemberesan aset debitur untuk membayar utang-utang para kreditur.

 “Sudah (disisir) tanah seluas 3.200 meter persegi dan bangunan seluas 22.000 meter persegi. Aset lainnya belum ada,” kata dia.

 Paulus menyatakan, kurator belum bisa mengambil sikap sebelum verifikasi tagihan piutang dilaksanakan terhadap bangunan yang mangkrak tersebut.

 “Kalau kami berpikir, pembangunan ini harus dilanjutkan. Kreditur sudah memberikan kepercayaan kepada kurator untuk menyelesaikan proyek pembangunan itu,” ujarnya.

 Sebagaimana diketahui, PKPU MAP bermula dari permohonan PKPU oleh tiga konsumennya, dengan perkara No.159/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt. Pst.

 Ketiga pemohon adalah Marlita Tedy, Ratna Nirmala Muradinata, dan Dicky Johan yang masing-masing membeli tiga unit apartemen dan kondotel dibangun MAP pada 2014 dan 2015.

 Mereka membeli kondotel dengan harga yang bervariasi mulai dari harga Rp400-an juta, Rp 500-an juta, hingga Rp 600-an juta.

 Para pemohon mengajukan permohonan PKPU karena MAP tak kunjung menyelesaikan pekerjaan pembangunan apartemen padahal pemohon sudah membeli unit secara lunas.

 Dalam perjalanan waktu, dari hasil verifikasi PKPU tetap PT MAP memiliki tagihan sebanyak Rp190-an miliar kepada 346 kreditur, yang terdiri dari konsumen pembeli apartemen dan supplier.

 Saat itu, Kuasa Hukum MAP Vanly Vincent Pakpahan berharap agar PKPU yang membelenggu debiturnya dapat berakhir dengan perdamaian. Pihaknya, kata dia, berjanji akan menyelesaikan pembangunan apartemen karena ada investor yang bekerja sama dengan MAP.

 “Kami sudah mengajukan proposal perdamaian. Kami terbuka jika ada masukan, kami terima dan kami mengusahakan yang terbaik untuk semua kreditur,” ujar Vanly.

 Hanya saja, PKPU MAP tak kunjung menemui titik terang. Berkali-kali MAP diberikan kesempatan perpanjangan waktu oleh para krediturnya untuk menyusun proposal perdamaiannya dengan optimal. Namun, kesempatan selama 270 hari harus berakhir dengan status pailit.

Sumber: Bisnis Indonesia, Kamis, 12 September 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *