Skema pemajakan digital belum juga mendapatkan lampu hijau dalam pembahasan di Task Force on Digital Economy (TFDE) yang akan berakhir pada 2020.
Namun demikian, Organization for Economic Co-operation Development (OECD) belum lama ini mengumumkan adanya perkembangan baru pada proses pemajakan ekonomi digital yang dimuat dalam policy note yang terdiri dari dua pilar utama.
Pilar pertama bertujuan untuk mengatur alokasi pemajakan secara lebih adil dengan memperluas hak pemajakan bagi yurisdiksi pasar melalui pendekatan user participation, marketing intangibles, dan sufficient economic presense. Adapun pilar yang kedua adalah fokus terhadap keberadaan global antibase erosion rule.
Tiga skema yang disebutkan dalam pilar pertama ini sebenarnya lebih menekankan mengenai cara untuk menentukan indikator-indikator dari kehadiran Bentuk Usaha Tetap (BUT) dalam yurisdiksi pajak.
Apalagi dalam perspektif global, selama ini ada kecenderungan bahwa penetapan BUT ditentukan dalam kehadiran fisik. Padahal untuk kasus ekonomi digital, skema penetapan BUT secara konvensional sudah ketinggalan zaman.
Konsep user participation sendiri menekankan penetapan keberadaan suatu entitas digital di suatu negara didasarkan pada ada tidaknya atau seberapa besar pengguna dari produk digital di suatu yurisdiksi. Intinya, suatu entitas digital dianggap memiliki kehadiran dan bisa dipajaki, dilihat dari penetrasi konsumen yang berada di negara tersebut.
Sementara itu, marketing intangibles adalah suatu keberadaan entitas digital akan dilihat berdasarkan faktor pasar dari entitas tersebut misalnya terkait dengan merek dan keberadaan pengolahan data dari user tersebut. Sementara itu yang terakhir, sufficient economic presense atau kehadiran entitas digital diukur dari dampak entitas tersebut ke ekonomi di satu yurisdiksi pajak.
Partner Fiscal Research DDTC Bawono Kristiaji mengatakan, pada prinsipnya ketiga bentuk proposal tersebut sangat menguntungkan Indonesia sebagai yurisdiksi pasar. Meski demikian, setiap opsi tersebut memiliki keuntungan dan kesulitan yang berbeda-beda.
“Paling mudah diterapkan di Indonesia user participation. Sebab kalau bicara marketing intangibles ini masih ada kompleksitasnya,” kata Bawono saat memaparkan Indonesia Taxation Quarterly Report Q1/2019 Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities, di Jakarta, Kamis (2/5)
Tantangan dan Solusi Pemajakan Digital
Tantangan | Sasaran | Pilar Pertama | Pilar Kedua |
Memahami Model Bisnis | Over The Top | User Participation | Anti-beps rules |
Identifikasi sejauh mana inclusion rule ketentuan pajak relevan dengan model bisnis | Pelaku e-commerce | Marketing intangibles | Income |
Memilih solusi; kebijakan, administrasi atau keduanya | Jenis ekonomi digital lainnya | Sufficient economic present | Tax on Base eroding payment |
Sumber: OECD, Indonesia Taxation Quarterly Report 2019 DDTC BISNIS/TRI UTOMO
Di Indonesia upaya mengenai pemajakan ekonomi digital mulai dijalankan oleh pemerintah yakni dengan menerbitkan PMK 210/2018 tentang e-commerce yang akhirnya dicabut. Selain itu, tahun ini pemerintah juga telah menerbitkan PMK Nomor 35 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap.
Bawono menjelaskan, masing-masing proposal ini sebenarnya hanya ingin memperlihatkan pihak mana saja yang mendapatkan “kue”-nya yang lebih besar. Akan tetapi, mendapatkan “kue” yang besarpun dalam ekonomi digital juga belum tentu bisa dilakukan, apalagi sejauh ini konsensus ke arah pengimplementasian ketiga proposal tersebut masih cukup susah.
“Nah kalau nanti kita akan membicarakan user participation, ini tampaknya akan ditentang oleh negara-negara domisilinya raksasa-raksasa teknologi,” ungkapnya.
Adapun sebelumnya, Ditjen Pajak mengakui bahwa disrupsi yang mengubah lanskap perekonomian global telah menghadirkan tantangan bagi otoritas pajak. “Banyak negara termasuk Indonesia menyikapi perubahan tersebut dengan melakukan reformasi pajak untuk memodernisasi administrasi pajak dan menyempurnakan perangkat peraturan di bidang pajak,” jelas Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol.
Oleh: Edi Suwiknyo (edi.suwiknyo@bisnis.com)