PT Nakajima All Indonesia berada diambang pailit, mengingat tidak adanya proposal perdamaian yang diberikan oleh perusahaan manufaktur listrik dan produk elektronik itu kepada para krediturnya.

Perusahaan yang berlokasi di area Kawasan Berikat Nusantara (KBN) itu dimohonkan dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT Keum Su Tech, rekanan penyuplai bahan baku kepada Nakajima All Indonesia.

Namun, hingga menjelang putusan pada 4 Desember mendatang, Nakajima tak kunjung memberikan rencana perdamaiannya. Padahal, debitur sudah ditawarkan kesempatan oleh pengurus dan kreditur agar bisa keluar dari restrukturisasi utang via pengadilan tersebut.

Pengurus PKPU Nakajima All Indonesia (debitur) Zentoni mengatakan proposal perdamaian tidak diajukan oleh debitur karena pemilik perusahaan tidak berada di Indonesia lagi dan telah berada di Jepang sehingga tidak ada proposal perdamaian maka perusahaan bisa dinyatakan pailit sesuai UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Pasti pailit, putusan pailit nanti pada 4 Desember 2019. Debitur sudah balik ke Jepang, dan tidak mengajukan proposal perdamaian. Langsung pailit, kata Zentoni kepada Bisnis belum lama ini.

Tidak adanya proposal perdamaian dari debitur, menurut Zentoni, sesungguhnya sangat disayangkan karena perusahaan ini sudah lama dikenal masyarakat. Apalagi, perusahaan tersebut masih bisa lolos dari PKPU apabila perusahaan induknya Jepang menyuntikkan modal kepada anak usahanya tersebut di Indonesia supaya bisa berproduksi kembali.

Terkait dengan hal itu, kuasa hukum debitur Petrus Bala Pattyona enggan berkomentar banyak kepada Bisnis. Namun demikian, sebelumnya Petrus mengatakan bahwa debitur memang sudah mengarah ke pailit karena sudah tidak beroperasi lagi. “Karyawan sudah dikenai PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

Namun demikian, Petrus juga kecewa dengan para kreditur yang menghentikan kerja sama bisnis dengan kliennya secara tiba-tiba. Atas pemberhentian tersebut, membuat perusahaan kehilangan pendapatan dan berujung dengan terhentinya operasional perusahaan sejak Juli 2019.

Menurutnya, dampak dari kondisi keuangan belum membaik kepada para vendor disebabkan oleh kantor pusat Nakajima di Jepang tidak memberikan suntikan modal untuk menjalankan operasional kliennya. Dalam jawabannya pula, menurut Petrus, kliennya sudah dalam keadaan insolvensi gagal bayar atau tidak mampu membayar tidak berproduksi lagi karena tidak ada orderan barang-barang dari mitra bisnis.

Sengketa utang piutang dialami Nakajima All Indonesia bermula dari permohonan PKPU yang diajukan oleh PT Keum Se Tech, rekanan penyuplai bahan baku. Keum Su Tech mengajukan permohonan PKPU dengan perkara No. 198/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.PSt pada 11 September 2019 lalu.

UTANG JATUH TEMPO

Dalam tuntutannya, pemohon meminta kepada pengadilan agar mengabulkan permohonan PKPU karena Nakajima memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebanyak US$24.114. Utang tersebut disebutkan berasal dari transaksi bisnis melalui purchase order dan invoice yang masa jatuh tempo disepakati keduanya sebagai mitra bisnis. Namun demikian, terjadi gagal bayar kepada pemohon sejak Agustus 2018.

Selain Keum Su Tech, ada kreditur lainnya yakni PT Harmonic Techindo Agung yang memiliki piutang kepada Nakajima All Indonesia sebesar US$44.160 dan PT Space Indonesia dengan piutang senilai US$276. Keduanya adalah kreditur lain untuk memenuhi syarat PKPU memohonkan PKPU terhadap Nakajima.

Dalam perjalanan persidangan, majelis hakim mengabulkan permohonan PKPU Keum Se Tech pada 8 Oktober 2019. Hakim menyatakan agar termohon menjalani restrukturisasi utang sementara selama 45 hari, sejak putusan tersebut dibacakan di persidangan. Pengadilan kemudian mengangkat Zentoni dan Hendrawan sebagai pengurus PKPU Nakajima All Indonesia (debitur).

Dalam rapat verifikasi piutang, utang debitur membengkak kepada 13 kreditur konkuren dan 1 kreditur separatis total senilai US$2,03 juta atau senilai Rp29,37 miliar. Adapun, piutang 13 kreditur konkuren Rp507, 44 juta tersebar di PT Keum Se Tech, PT Harmonic Techindo Agung, PT Space Indonesia, SIIX Singapore PTE.Ltd, PT Beta Sinarindo, PT Amstrong Industri Indonesia, PT Hanhai Business Solution PTE.Ltd, PT Yusen Logistic Indonesia, PT Oriental Asahi JP Carton Box, PT Crestec Indonesia, PT Sagateknindo Sejati, PT Tebeindo Sunshine Teknika Mandiri dan Sunshine Teknika Indonesia.

Sementara itu, kreditur separatis yaitu PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Tbk. dengan piutang sebanyak US$553.163 atau sebanyak Rp7,83 miliar.

Bisnis Indonesia Rabu, 27 November 2019
Yanuarius Viodeogo
yanuarius.viodeogo@bisnis.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *