Usaha dan doa. Setidaknya dua hal inilah yang sedang dijalankan oleh otoritas pajak. Tantangan penerimaan pajak cukup besar. Risiko shortfall juga makin melebar.
Tak heran, mereka mulai menyiapkan langkah-langkah ekstra. Setiap hari petugas pajak, melalui pengeras suara yang terpasang di penjuru Kantor Pusat Ditjen Pajak, selalu diimbau menyelipkan sepatah dua kata untuk meminta kepada Tuhan, supaya penerimaan pajak terealisasi.
“Biasa, kami juga perlu menguat- kan spiritualitas,” ungkap seorang pejabat pajak, belum lama ini.
Tahun ini, memang bukan tahun biasa. Pelemahan ekonomi global, anjloknya harga komoditas, hingga perang dagang, benar- benar memporak-porandakan perekonomian global. Indonesia, yang menjadi bagian dari komunitas global tersebut, juga harus ketiban sial dengan rontoknya sejumlah sektor- sektor utama yang menopang perekonomian.
Ekspor melemah, pun demikian dengan investasi. Di satu sisi, pelemahan perdagangan dan harga komoditas juga membuat peforma sejumlah korporasi sedikit limbung. Alhasil, kondisi tersebut berpengaruh terhadap kinerja penerimaan pajak yang terkait dengan aktivitas tersebut.
Menilik prognosis APBN 2019, dari 15 kementerian yang tercantum, hanya empat kementerian yang realisasi belanjanya diproyeksikan melebihi 100%.
Setoran PPh badan misalnya, yang biasanya kontribusinya lebih dari 20%, sampai dengan Juli 2019 hanya mampu tumbuh kurang dari 1%. Padahal, tahun lalu pertumbuhan penerimaan PPh badan mampu tumbuh 23,3%.
Sementara itu, untuk pajak perdagangan angkanya lebih rendah lagi. PPN impor misalnya, pertumbuhannya terkontraksi hingga 4,55%.
Adapun, PPh 22 impor, pertumbuhannya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan PPh badan yakni sebesar 1,2%. Padahal tahun lalu, penerimaan PPh 22 impor mampu tumbuh pada angka 28,3%.
Dari sisi sektoral, penerimaan dari sektor-sektor utama penerimaan pajak juga tercatat loyo. Sektor industri pengolahan tercatat terus terkontraksi bahkan hingga -4,3%. Sektor perdagangan sedikit lebih baik dengan pertumbuhan mencapai 1,8%. Itupun lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 27,7%.
Rontoknya, jenis dan sektor utama penerimaan pajak membuat struktur penerimaan pajak yang cukup riskan.
Pertumbuhan penerimaan pajak sampai Juli 2019 hanya mampu tumbuh di angka 2,68%.
Angka ini jelas masih jauh dari outlook pertumbuhan penerimaan pajak nonmigas yang harusnya tumbuh pada level 10,27% atau kalau ditambah migas pada angka 9,2%.
Artinya, jika tidak ada perbaikan pada 4 bulan terakhir, bukannya melesat, penerimaan pajak bisa dipastikan meleset dari outlook APBN 2019.
“Ini memang menjadi tantangan, tetapi kami upayakan untuk tidak jauh dari outlook,” jelas Yon Arsal, Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak, saat ditemui beberapa waktu lalu.
Yon sendiri tak menjelaskan secara merinci strategi apa saja yang akan ditempuh oleh otoritas pajak untuk menutup celah penerimaan pajak yang makin terbuka lebar. Extra effort-kah? Atau ada cara lain yang akan ditempuh?
Namun, diam- diam dalam rapat pimpinan nasional II (Rapimnas) | pada 19-20, Agustus 2019, otoritas pajak telah membuat strategi untuk mengejar penerirnaan pajak yang tumbuh di bahwa 3%. Pertama, extra effort akan ditingkatkan. Kedua, optimalisasi data keuangan tahun 2017. Ketiga, meng-optimalkan tim satgas penerimaan.
“Kalau itu tanyakan ke pak Dirjen aja,” jelasnya.
EFISIENSI
Di lain pihak, lesunya kinerja penerimaan pajak ini membuat ketar-ketir pengelola fiskal. Kalau shortfall penerimaan pajak melebar, defisit anggaran akan ikut melebar.
Dengan demikian, pilihan pemerintah cuma dua yakni melakukan efisiensi atau menutup celah fiskal itu dengan utang.
Kedua pilihan tersebut memiliki risikonya masing-masing. Efisiensi belanja, bagaimanapun kalau tidak tepat dosisnya, akan memengaruhi kinerja dan target-target pemerintah. Bahkan, yang lebih buruk, akan berpengaruh terhadap kinerja perekonomian secara umum. Sementara itu, apabila mengambil langkah yang kedua, selain bukan kebijakan yang populis, menambah utang di tengah kinerja penerimaan pajak yang belum optimal akan mengakibatkan beban dalam pengelolaan fiskal makin menumpuk.
Sebagai contoh, dalam catatan Bisnis, beban . . pembayaran bunga utang secara nominal selama periode 2014-2019 rata-rata naik sebesar 15,7%. Di sisi lain, rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB) juga naik dari 1,26% pada / 2014 menjadi 1,7% dari PDB pada 2019.
Yang menjadi persoalan, naiknya beban dari sisi total pembayaran bunga utang tidak diimbangi dengan kemampuan membayar bunga utang yang terus menurun.
Hal ini ditunjukkan dengan tren kenaikan rasio bunga utang terhadap pendapatan negara dari 8,6% pada 2014 melesat menjadi 13,3% pada 2018, meskipun pada 2019 angkanya diproyeksikan turun menjadi 12,7%.
Belakangan, Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, lebih condong untuk melakukan efisiensi anggaran. Dia juga memastikan bahwa ada sejumlah pos anggaran yang tidak akan mencapai 100%.
Adapun, jika menilik prognosis APBN 2019, dari 15 kementerian yang tercantum, hanya empat kementerian yang realisasi belanjanya diproyeksikan melebihi 100%.
Empat kementerian tersebut yakni Kementerian Pertahanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Polri, dan Kemenkumham.
Dengan kondisi tersebut sejumlah pengamat masih menunggu- nunggu kelangsungan reformasi pajak, khususnya soal perbaikan regulasi, yang mulai dibahas, baik di internal Kementerian Keuangan maupun eksternal.
Selain itu, revisi UU PPh juga sangat ditunggu-tunggu, terutama untuk menentukan kebijakan mengenai aspek tarif, subjek, hingga perluasan objek pajak.
Partner Fiscal DDTC Research Bawono Kristiaji berpandangan bahwa perluasan objek pajak sebagai salah satu upaya memperluas basis pajak merupakan hal semakin relevan.
Apalagi, di tengah makin gencarnya penerbitan berbagai insentif pajak dan rencana pemotongan tarif PPh Badan yang dapat mengurangi potensi penerimaan pajak.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan bahwa dengan kondisi penerimaar yang masih jauh dari ekspektasi, upaya ekstra luar biasa memang cukup mendesak untuk dilakukan.
Intinya, memang perlu respons yang sangat cepat dari pemerintah. Penentuan target perlu dipertimbangkan dengan kemampuan memungut pajak. Pasalnya, kemampuan memungut pajak pemerintah sangat menentukan masa depan pengelolaan anggaran.
Edi Suwiknyo
edi.suwiknyo@bisnis.com