JAKARTA, KOMPAS – Penyedia aplikasi lokal mendukung pemerintah bersikap tegas untuk memungut pajak pengusaha digital asing yang memiliki transaksi dari dan ke Indonesia. Dengan demikian, akan tercipta kesetaraan perlakuan.

 Dalam simposium pajak di Jepang, Sabtu (8/6/2019), menteri keuangan dari negara-negara kelompok G-20 sepakat merumuskan aturan pemungutan pajak ke perusahaan teknologi besar. Kesepakatan ini muncul karena sejumlah perusahaan raksasa, seperti Facebook dan Google, berusaha menurunkan tagihan pajaknya dengan mencatatkan laba di negara-negara berpajak rendah meski konsumen terbesar mereka bukan dari wilayah itu.

 Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, Senin, berpendapat , di Indonesia memang masih ada celah menghindari pajak terutama dari penyedia layanan aplikasi konten melalui internet (over the top/OTT). Dia menyebut transaksi daring masih berlangsung meski perusahaan OTT itu belum mengantongi bentuk usaha tetap.

 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35 Tahun 2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap. PMK No.35/2019 mewajibkan orang pribadi atau perusahaan asing yang berbisnis di Indonesia mendaftar untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kepemilikan NPWP mempertegas bentuk usaha tetap sebagai subyek pajak luar negeri. Implementasi PMK ini berlaku sejak 1 April 2019.

OTT Asing

Selain Pajak Penghasilan, PMK No.35/2019 juga mewajibkan mereka membayar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah apabila melakukan penyerahan objek pajak. “Fokus seharusnya tidak melulu pada Google dan Facebook. Ada sejumlah perusahaan OTT, misalnya, menawarkan layanan teknologi pemasaran dan punya jejaring besar, tetapi mereka tak punya kantor di Indonesia,” ujar Ignatius.

Isu mengatur pungutan pajak ke penyedia OTT asing kompleks. Untuk OTT sektor perdagangan secara elektronik atau e-dagang, dia menyebutkan, celah hukum yang dimanfaatkan asing adalah nominal bea masuk barang.

Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono menyatakan hal senada. Dia menilai, PMK No. 35/2019 hanya mengatur perspektif badan usaha, tetapi tidak dari aspek industri. Oleh karena itu, PMK tersebut perlu dilengkapi peraturan lain agar semakin jelas.

Direktur Eksekutif Indonesia Information Communication Technology Institute Heru Sutadi berpendapat, pemerintah perlu tegas dalam mengimplementasikan aturan apa pun terkait penyedia OTT. Misalnya soal kebijakan wajib badan usaha tetap dan mencatatkan semua transaksi dari/ke Indonesia. Jika pemerintah tegas sejak lama, masalah nilai pajak dan menghitung produk domestik bruto layanan OTT tidak perlu ada.

Menurut dia, pemerintah “mengincar” perusahaan raksasa yang menawarkan layanan iklan, seperti Google dan Facebook. Namun layanan OTT sejatinya luas dan beragam. (MED)

Sumber: Kompas, Selasa, 11 Juni 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *