Bisnis, JAKARTA- Wacana munculnya tax amnesty atau pengampunan pajak terus menjadi perdebatan sejalan dengan belum maksimalnya implementasi program itu pada jilid pertama. Apalagi, tax amnesty sering disalahgunakan oleh para ‘penjahat pajak’.
Berdasarkan sumber bisnis di lingkungan ditjen pajak, tax amnesty kerap dijadikan modus sebagai pelindung para wajib pajak nakal atau pelaku kriminal perpajakan dari jeratan hukum pidana.
Masih dari sumber yang sama, penegakan terhadap pelanggaran pajak dengan memanfaatkan tax amnesty terus meningkat. Bahkan, dalam beberapa kasus otoritas pajak telah menjerat wajib pajak tak patuh dengan tindak pidana pencucian uang atau TPPU.
Akan tetapi, pejabat di lingkungan otoritas pajak enggan memberikan keterangan mengenai persoalan tersebut. “Saya belum memeriksa datanya.” Kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama kepada Bisnis, pekan lalu.
Kendati diklaim sebagai program tersukses di dunia, sebenarnya tax amnesty periode 2016 hingga 2017 tidaklah terlalu fenomenal. Justru program itu bisa dibilang belum maksimal dengan sejumlah indikator.
Pertama, dari sisi partisipasi. Jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan kurang dari 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada 2017 yakni di angka 39,1 juta.
Kedua, dari aspek uang tebusan. Realisasi yang hanya Rp.114,5 triliun masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada di angka Rp.165 triliun.
Ketiga, dari sisi jumlah dana yang direpatriasi. Saat program itu dimunculkan, di hadapan DPR, otoritas pajak mengklaim bisa menyelamatkan dana senilai Rp.1.000 triliun. Namun, ternyata realisasinya hanya Rp.146,7 triliun.
Selain jauh dari ekspektasi, dalam catatan juga masih penuh dengan catatan Bisnis, realisasi repatriasi tersebut juga masih penuh dengan catatan. Pasalnya dari komitmen senilai Rp.146,7 triliun, dana dari luar negeri yang benar-benar direalisasikan hanya Rp.138 triliun. Artinya, masih ada sekitar Rp.8,7 triliun yang sampai saat ini masih belum jelas tindak lanjutannya.
Otoritas pajak lagi-lagi lepas tangan saat dimintai tanggapan mengenai hal ini. “Saya belum ada update datanya,” kata Hestu.
Keempat, adalah soal kepatuhan. Sampai 2 tahun pascapengampunan pajak, realisasi kepatuhan masih di bawah standar OECD yakni 85%. Data otoritas pajak sampai Juli 2019, realisasi kepatuhan wajib pajak baru 12,3 juta atau 67,2% dari jumlah wajib pajak yang wajib SPT sebanyak 18,3 juta.
Dilihat dari jenis wajib pajaknya, karyawan termasuk yang paling patuh di antara wajib pajak lainnya dengan rasio di angka 73,6%. Sementara itu, kelompok korporasi hanya 57,28% dan wajib pajak orang kaya atau nonkaryawan masih 42,75%
Pakar pajak DDTC Darrussalam mengganggap, dengan berbagai macam pekerjaan rumah tersebut, wacana untuk mengimplementasikan pengampunan pajak jilid kedua tidak tetap. Menurutnya, pemerintah perlu tegas dan mengambil kebijakan yang tepat untuk memberikan keadilan kepada wajib pajak yang telah ikut dalam pengampunan pajak 2016-2017.
PENEGAKAN HUKUM
Selain itu, langkah penegakan hukum juga perlu dioptimalkan. Pasalnya, pascapengampunan pajak yang menggunakan tagline ‘sekali seumur hidup’, merupakan masa untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui penegakan hukum. “Pemerintah harus tegas, penegakan hukum harus dilakukan,” ujarnya.
Darrussalam juga menjelaskan, pemerintah juga harus tepat sasaran dalam memberikan insentif, terutama ditujukan kepada wajib pajak yang patuh. Jika tidak tepat, maka insentif ini menjadi modus baru untuk pelanggaran pajak.
Dengan kondisi tersebut, dia mempertanyakan motif munculnya informasi mengenai pengampunan pajak jilid kedua. Jika hanya menuntut keringanan, lanjut dia, pemerintah sudah sangat baik dengan diberikannya kesempatan kepada wajib untuk mengungkapkan aset secara sukarela dan mengenakannya dengan tarif cukup rendah (PAS Final).
“Jadi kalau pengampunan pajak benar-benar akan dimunculkan. Maka ini adalah insentif bagi ketidakpatuhan wajib pajak,” jelasnya.
Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyapratama menambahkan, pelaksanaan kembali pengampunan pajak bukan kebijakan yang tepat. “Yang penting, kita bagaimana merangkul mereka yang tidak dalam sistem, mau masuk dalam sistem. Tidak harus bicara ada TA atau tidak, tapi caranya,” ungkapnya
Siddhi juga menilai, program pemerintah melalui PAS final sudah cukup mengakomodasi pengusaha kaya yang hendak melaporkan hartanya. Program tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan sepanjang belum dilakukan pemeriksaan. Jadi, masihkah perlu Tax Amnesty jilid II?
Edi.suwiknyo@bisnis.com