Oleh: Hotmarojahan Sitanggang, IKHAPI, November 2019

Digitalisasi pada dasarnya adalah dematerialisasi: pengalihan benda-benda fisik menjadi non-fisik. Hal itu memungkinkan segala sesuatu terhubung dalam IoT muncul intangible assets seperti data.

Society 5.0” pada dasarnya adalah lanjutan techno-optimism sejak revolusi industri (3.0). Karena itu, masalah revolusi industri sejatinya masih saja menghantui: manusia sekadar jadi konsumen seragam dan pasif. Dalam konteks perpajakan: bisakah pajak direduksi melulu jadi perkara teknologis/teknokratis? Bagaimana dengan aspek kewarganegaraan (citizenship, civic virtues) dalam perpajakan? Tidakkah pajak adalah salah satu unsur kunci dalam relasi antara negara dan warganya?

Society 5.0” adalah cita-cita kemilau masyarakat Jepang yang punya masalah populasi (26 persen penduduk berusia di atas 65 tahun, sementara pertumbuhan penduduk rendah). Tak heran bila negara seperti itu mengedepankan visi positivistik/teknokratik tentang masyarakat. Tapi, seperti dikemukakan olehYuval Noah Harari, kalau visi itu mau diikuti secara konsekuen, 2/3 umat manusia akan semakin tidak relevan. Dengan populasi lebih dari 200 juta jiwa, seberapa siapkah Indonesia?

Revolusi Digital dan Masalah Kedaulatan :

• Hukum belum cukup mampu menjangkau operasi perusahaan-perusahaan penyedia layanan digital.

• Perusahaan penyedia layanan digital bukan hanya berbisnis, melainkan juga melakukan surveillance (Algoritma, big data analytics. dst) . Kemampuan Google, Facebook, Alibaba, dsb. Dalam melakukan surveillance atas perilaku digital masyarakat dalam beberapa hal lebih canggih daripada kemampuan agen-agen resmi intelijen.(bdk. Kasus Cambrige Analitika)

Society 5.0” adalah cita-cita kemilau masyarakat Jepang yang punya masalah populasi (26 persen penduduk berusia di atas 65 tahun, sementara pertumbuhan penduduk rendah). Tak heran bila negara seperti itu mengedepankan visi positivistik/teknokratik tentang masyarakat. Tapi, seperti dikemukakan olehYuval Noah Harari, kalau visi itu mau diikuti secara konsekuen, 2/3 umat manusia akan semakin tidak relevan. Dengan populasi lebih dari 200 juta jiwa, seberapa siapkah Indonesia?

Pergeseran Konsep Subjek :

Dari Personal ke impersonal, Digitalisasi juga menggeser konsep subjek: dari semula orang/badan menjadi data (impersonal). Difasilitasi oleh artificial intelligence, machine learning, dsb.

 Digitalisasi tak terbatas pada perusahaan“digital” seperti facebook, twitter, google, dan sejesnisnya. Namun, digitalisasi terjadi pada semua sektor tak terkecuali sektor manufaktur. Inilah yang kita sebut sebagai industri 4.0;

Ke depan, yang tak membutuhkan kehadiran fisik tak hanya perusahaan “digital” namun juga perusahaan konvensional seperti otomotif misalnya;

Jangan sampai solusi dari masalah pajak digital bersifat diskriminatif (mentargetkan) bagi perusahaan“digital” tertentu saja namun menangkap digitalisasi yang terjadi tersebut;

Menghapus asas“kehadiran fisik” bukanlah hal mudah. Kita perlu ingat, bahwa mengganti asas ini berarti kita harus merubah fondasi dasar perpajakan internasional.

   

MEMAJAKI CRYPTO CURRENCY

Badan Pengatur Perdagangan Berjangka Komoditas (BAPPEBTI) mengakui Bitcoin sebagai komoditas perdagangan di bawah pertukaran kripto-aset.Sayangnya, sementara Bitcoin telah mengalami booming di pasar dan bahkan para ahli memprediksi penggunaan cryptocurrency akan terus meningkat, yurisdiksi pajak menuju komplikasi yang sama untuk menjawab pertanyaan dasar tentang implikasi pajak dari transaksi yang dilakukan secara digital.

Perkembangan dramatis cryptocurrency diikuti dengan perluasan underground economy. Pada saat yang sama, keringanan pajak diinginkan untuk merangsang investasi, yaitu investasi aset crypto. Singkatnya, kebijakan fiskal dihadapkan dengan dilema pajak dalam menghadapi target penerimaan pajak dan insentif pajak untuk investasi cryptocurrency. untuk kita ketahui crypto currency adalah subtitusi dari mata uang yang sekarang berlaku dan bukan pelengkap; Keberadaan dari crypto currency mengancam keberadaan dari bank sentral maupun kebijakan moneter, bahkan mengancam risiko sistemik; Keberadaan dari crypto currency mengancam keberadaan dari bank sentral maupun kebijakan moneter, bahkan mengancam risiko sistemik; Di tataran global, crypto currency sudah seperti musuh dari bank sentral. Keberadaan dari cypto currency di masa depan sendiri masih dipertanyakan, terakhir “Libra” (crypto currency-nya Facebook) ditinggal oleh investor besarnya seperti Mastercard, Visa,dan Paypal;

Pasal 4 ayat (1) UU PPh mengadopsi definisi ‘penghasilan’ yang luas, termasuk keuntungan modal jangka pendek dan jangka panjang pada pengalihan aset. Dalam konteks ini, menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komiditi (BAPPEBTI), Bitcoin, utility crypto dan crypto backed asset diklasifikasikan sebagai properti. Oleh karena itu, membeli Bitcoin bukan merupakan taxable event,tetapi menggunakan Bitcoin untuk membeli sesuatu dianggap sebagai penjualan aset, dan menjual properti lebih dari nilai historisnya merupakan taxable event.

Uang dan sekuritas masuk ke dalam negative list UU PPN (Pasal 4A UU PPN). Namun, menurut Bank Indonesia, bitcoin tidak dianggap sebagai instrumen pembayaran yang valid dan dilarang untuk digunakan sebagai ‘mata uang’ di Indonesia. Dengan cara pandang ini, Bitcoin tidak dianggap sebagai uang atau sekuritas sebagaimana digambarkan oleh Pasal 4A UU PPN Indonesia. Karena itu, berdasarkan peraturan yang sekarang berlaku, Bitcoin dan layanan terkaitnya harus dikenakan PPN.

TANTANGAN MEMAJAKI CRYPTO CURRENCY

Kita tahu, PPN menganut prinsip “destination principle” sedangkan transaksi baik sebagai alat tukar dan komoditas dapat dilakukan dalam jarak jauh; Tentunya, untuk efektif maka yang menjadi pemungut adalah pemilik platform.

Permasalahannya jika transaksi dilakukan melalui platform yang berada di luar negeri yang tak mengenakan PPN atas crypto currency. Terkait PPh, ini juga menjadi tantangan dalam pengawasannya mengingat crypto currency yang dikonversikan masuk ke“dompet digital” seperti PayPal;

Beberapa Hal Baru Terkait Perpajakan atas Transaksi Digital

1. Ekonomi digital di era globalisasi

Globalisasi : adalah proses dimana masyarakat dunia menjadi saling berhubungan satu sama lainnya (interconnected) dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi maupun lingkungannya (Lodge: 1995: 1).

 Dalam ekonomi, prinsip comparative cost advantage menimbul-kan ketergantungan (interdependensi) dari berbagai negara antara satu dengan yang lain akan semakin nyata.

Ekonomi Digital : adalah aktivitas atau kegiatan ekonomi yang lebih menitikberatkan pada penggunaan sarana digital untuk memperoleh dampak pada perekonomian yang lebih memberikan kemudahan, mendapatkan pelayanan yang nyaman, keuntungan, dan kepuasan bagi yang melakukannya.

Ciri-ciri Ekonomi Digital:

a. Virtualization: hal-hal fisik menjadi maya (virtual).

b. Disintermediations; tidak perlu ada perantara secara fisik;

 Perantara melalui media internet atau WEB langsung dua arah dengan akses via marketplace berupa virtual market, dengan memakai jasa antar, dan pembayaran sistem transfer via e-banking (Reintermediarible).

c. Digital communications: semua komunikasi dan transaksi menggunakan sarana digital (internet atau web teknologi).

2. Kegiatan utama economic digital yang perlu dipersiapkan administrasi dan legasinya

(1). Electronic commerce (e-commerce): transaksi maya, paperless, jual beli via komunikasi internet/web,

 Pembeli berbelanja di di tempat sendiri tanpa mendatangi penjual (toko) untuk melihat, memilih, membayar, dan mengambil barang, tanpa dokumen.

 Dokumen pajak masukan persyaratan dalam mekanisme PPN.

(2). Online market; sarana virtual layanan over the top (OTT), berupa aplikasi layanan dengan konten berbasis internet (platform) melalui marketplace, seperti Tokopedia, Blibli.com, dan lain-lain.

(3). Pelayanan jasa dan pengendalian jarak jauh perusahaan berbentuk virtual (e-business): financial technology, data interchange, transfer and management of fund dilakukan via internet, dalam perusahaan virtual (kantor, administrasi dan gudang semua ada dalam internet).

 Perusahaan didirikan berupa conduit company atau special purposed vehicle, passthrough company atau paperbox company di dalam dan luar negeri.

(4). Virtual currency atau virtual money berupa crypto currency.

Cryptocurrency dengan satuan nilai berupa alternate coin (ALT-coin) seperti Bitcoin (BTC), Lite coin (LTC), Riffle coin (XPR) dipakai sebagai alat pembayar/penukar.

 Transaksi crypto currency tidak melalui bank konvensional.

 Penukaran ALTcoin seperti Bitcoin menjadi uang konvensional (US$, £, atau rupiah) berdasarkan harga satuan ALT-coin terkait, tidak melalui clearing bank.

3. Crypto currency (virtual money) bagian dari era digitalisasi

Dengan berkembangnya ekonomi digital disatu negara, akan berpengaruh dan berdampak pada ekonomi negara mitra, dan mau tidak mau harus mempersiapkan diri dan mengantisipasinya. Dalam era globalisasi, sudah tidak ada lagi negara yang berdiri sendiri, sudah cenderung menuju perekonomian terbuka, mengarah ke dunia ekonomi tanpa batas negara.

 Indonesia, sebagai negara yang perekonomiannya mulai bergeser dari ekonomi berkembang ke ekonomi maju, dan banyak terlibat dalam perjanjian ekonomi baik secara bilateral, regional dan multilateral, juga akan terimbas dari economic digital tersebut.

 Salah satu cakupan dari ekonomi digital tersebut adalah mulai dipakai crypto currency oleh sebagian masyarakat sebagai alat pembayaran, alat penukar, satuan hitung atau alat penimbun kekayaan (investasi) dalam bentuk virtual money sebagaimana diuraikan di atas. Diantara negara mitra yang terimbas seperti Indonesia belum siap mengantisipasi dampak hukum dan administrasinya.

Pengenaan pajak untuk crypto currency:

Crypto currency berupa ALT-coin seperti bitcoin, bagi pemilik yang memakainya untuk alat pembayar, alat penukar, satuan hitung atau alat penimbun kekayaan (investasi), dapat disetarakan dengan uang dan merupakan harta bagi pemiliknya.

(1). Pengenaan Pajak PPh untuk crypto currency

i. Atas pertambahan kepemilikan crypto currency seperti “bitcoin”, maka diperlakukan sebagai tambahan kekayaan, atau tambahan kemampuan ekonomis yang menjadi obyek pajak yang terhutang PPh.

ii. Apabila dana untuk memperoleh ALT coin (bitcoin) berasal dari penghasilan yang sudah dikenakan pajak, maka atas tambahan ALT coin sebagai harta/kekayaan tidak terhutang pajak (PPh).

iii. Apabila dana untuk memperoleh ALT coin belum dilaporkan dalam SPT dan/atau waktu perolehannya belum dikenakan PPh, maka diperlakukan sebagai tambahan kekayaan (kemampuan ekonomi) sebagai obyek PPh yang terhutang PPh.

iv. Atas keuntungan yang diperoleh dari penukaran ALT coin atau atas withdraw dari ALT coin menjadi uang konvensional, maka diperlakukan sebagai capital gain, menjadi obyek PPh.

 Sepanjang belum ada lembaga/badan yang mengelola crypto currency tersebut, dan sementara belum ada diatur lebih lanjut yang akan dapat berfungsi sebagai with hold, maka pemungutan dan penyetoran/ pembayaran pajak dilakukan dengan sistem self assessment, yaitu oleh pemilik melalui SPT-nya.

(2). Pengenaan PPN untuk crypto currency

Mengingat atas transaksi menggunakan crypto currency, juga berdampak atas penyerahan barang dan atau jasa, atau menimbulkan pertukaran yang terukur dan bernilai, “sepanjang belum ada bank yang menangani dan bertanggung jawab (berwenang) mengatur volume dan nilainya dalam peredaran, atau tempat clearing antar ALT coin”, maka:

(i). Atas transaksi crypto currency, sepanjang belum ada ketentuan yang menggunakan transaksinya sama dengan transaksi uang yang melalui bank konvensional, maka diperlakukan sebagai BKP yang terhutang PPN.

(ii). Apabila nanti crypto currency sudah disyahkan dan termasuk sebagai alat penukar dan satuan hitung yang diakui bank sentral atau bank konvensional di satu negara, maka ALT coin tersebut dapat disamakan dan dikaitkan nilainya dengan mata uang Bank Sentral dari negara yang melegalisasinya.

(iii). Mengingat hanya orang mampu yang menggunakan crypto currency, dan penggunaannya tergolong bukan dalam rangka transaksi kebutuhan pokok; maka diperlakukan sebagai barang mewah yang dapat dikenakan PPnBM, disamping dikenakan PPN.

4. Pembenahan hukum berkenaan dengan penerapan economic digital

a. Menyesuaikan perubahan dalam pemahaman konsep hukum dari jurisdiksi fisik ke jurisdiksi virtual.

1). Perundang-undangan yang ada selama ini, masih menganut pemahaman subyek dan obyek hukum dengan prinsip jurisdiksi fisik, yaitu pemahaman pengertian benda atau barang berupa benda berwujud (tangible goods), dan benda tidak berwujud (intangible goods), dengan pengelompokan sebagai berikut:

a. Barang/benda berwujud; berupa:

i. Bersifat tetap, dan tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan.

ii. Bersifat tetap, dan bergerak, seperti mobil, peralatan industri, dan lain sebagainya.

iii. Bersifat tidak tetap, seperti uang, saham, surat berharga, dan lain sebagainya.

b. Barang/benda tidak berwujud, seperti yang diatur dalam Undang-undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), antara lain: Hak cipta, hak paten, merk, rahasia dagang, design industri, desain tata letak/sirkuit, dan indikasi geografis, dan lain-lain; yaitu yang tidak berwujud tapi dasar pemberian hak ada dan nyata.

2). Perundang-undangan yang perlu dibenahi saat ini, sejalan dengan maju pesatnya economic digital, terkait subyek dan obyek hukum dalam jurisdiksi virtual, adalah berupa barang/benda tidak berwujud (intangible goods), yaitu:

i). Barang tidak berwujud yang sudah diatur dalam UU HaKI, adalah yang tidak berwujud tetapi dampak atau hasil atas pemakaian hak tersebut ada dan nyata.

ii). Barang tidak berwujud yang belum diatur dalam UU HaKI, terkait kepemilikan atau pemanfaatan sarana digital berbasis internet, dan vendor digital yang berbentuk virtual, seperti aplikasi/sarana digital yang beroperasi melalui internet (OTT); berupa platform, marketplace, dan hal inilah yang perlu diatur lebih lanjut.

b. Dalam penerapan konsep barang tidak berwujud dalam bentuk virtual, sering terkendala dalam pengaturan aplikasinya; antara lain di bidang perpajakan, yang terkait locus delicti berkenaan dengan penerapan (i) azas domisili, (ii) azas sumber, dan (iii) azas kebangsaan dalam Hukum Pajak, baik atas digital product dan digital cross border transaction.

a). Yang diatur selama ini dalam menentukan azas domisili dan azas sumber adalah berdasarkan realitas keberadaan fisik.

 Sedangkan subyek/obyek dalam bentuk virtual, sering terkendala dalam penentuan keberadaan atau kehadiran secara fisik.

b). Untuk mewujudkan keadilan hukum agar transaksi digital juga dikenakan pajak yang sama dengan transaksi konvensional, maka perlu diatur lebih lanjut, bahwa dalam penerapan azas domisili dan azas sumber, untuk subyek/obyek berbentuk virtual tidak perlu harus terpenuhi kehadiran/keberadaan secara fisik.

c. Dalam RUU Omnibus Law, dalam rangka mendorong pertumbuhan investasi, prinsip kehadiran fisik dalam penerapan azas domisili dan azas sumber di bidang perpajakan sudah diantisipasi; bahwa untuk tujuan perpajakan tidak mesti ada kehadiran fisik dalam penerapan subyek dan obyek berbentuk virtual. Namun di samping itu, dalam UU KUP, UU PPh dan UU PPN & PPnBM, juga perlu penyesuaian dan penyempurnaan hal yang sama, sejalan dengan perkembangan economic digital, antara lain:

a. Dalam perumusan konsep accrual basis, cash basis, penentuan saat pengakuan pendapatan, atau beneficial owner, dan lain sebagainya.

b. Pengertian dan penentuan faktur pajak sebagai pajak masukan dalam mekanisme PPN, terkait electronic commerce yang transaksinya maya dan paperless, dan dokumen bukti pembayaran atau surat setoran pajak, untuk keperluan pembuktian di pengadilan, dan lain-lain.

c. Ketentuan terkait keberadaan digital product dan digital cross border transaction.

 Untuk itu, maka perubahan UU KUP, UU PPh dan UU PPN & PPnBM terkait hal yang sama tetap perlu segera dilakukan, guna memberikan kepastian hukum dan penyamaan tafsir antara fiskus dan wajib pajak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *