Setelah film dokumenter “Sexy Killers” yang menelanjangi sisi kelam industri batu bara, kini giliran laporan Global Witness yang mengungkap dugaan skandal penggelapan pajak yang menyeret raksasa korporasi emas hitam.

Sontak, laporan itu menjadi buah bibir khalayak. Pasalnya, perusahaan yang dituduh yaitu PT Adaro Energy Tbk. Selain memiliki nama yang mentereng, Adaro juga sering dicitrakan sebagai wajib pajak (WP) badan patuh dan memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara.

Saking patuhnya, selama 2 tahun berturut-turut Adaro tak pernah absen dari jajaran perusahaan yang mendapatkan penghargaan dari Kantor Wilayah Large Tax Office (LTO) atau WP Besar.

Maret 2018 lalu misalnya, Garibaldi Thohir “Boy” yang datang langsung menerima penghargaan bergengsi itu sempat mengungkapkan pahit getirnya membangkitkan Adaro yang terjerat masalah pajak.

Kisah itu, katanya, terjadi pada kisaran tahun 2007-2008, ketika masih dalam proses transisi dan Adaro dalam posisi cukup pelik. Untuk membangkitkan bisnis Adaro, Boy memiliki tugas cukup besar, yakni menyelesaikan urusan pajak.

“Tiba-tiba, saya ditelepon sekretarisnya Darmin Nasution (Dirjen Pajak waktu itu), mewanti-wanti saya supaya yang datang Pak Edwin Soeryadjaya (salah satu pemegang saham) dan presiden direkturnya,” ungkap boy saat memberikan sambutan dalam penghargaan itu.

Singkat cerita, setelah mengalami banyak drama dalam kasus pajak tersebut, persoalan pajak Adaro selesai.

Proses penyelesaian perkara pajak tersebut ditindaklanjuti dengan perbaikan kekurangan dan memberikan tambahan penerimaan kepada negara.

Beberapa tahun kemudian, seperti yang telah disinggung diatas, korporasi tambang dan energi ini menjadi salah satu perusahaan yang paling besar menyumbang pajak termasuk royalti tambang.

Soal berapa kontribusinya, dalam keterangan resminya, pihak Adaro menyebut selama 2018 telah berkontribusi ke penerimaan negara sebesar US$721 juta yang terdiri dari US$378 juta dalam bentuk royalti dan US$343 juta dalam bentuk pajak.

Namun demikian, publikasi Global Witnes yang terbit pekan lalu tentu membalikan pencapaian tersebut. Hal ini kemudian membuat publik mempertanyakan apakah skandal itu benar adanya?

Apalagi laporan itu kemudian menambahkan embel-embel bahwa selama 2009-2017 dengan memanfaatkan anak perusahaannya di Singapura, Coaltrade Services International, Adaro membayar US$125 juta lebih sedikit daripada yang seharusnya disetorkan ke negara.

Selain itu, dengan memindahkan lebih banyak uang melalui tempat-tempat bebas pajak, Adaro juga diduga telah mengurangi tagihan pajak, termasuk uang yang tersedia untuk pemerintah Indonesia untuk layanan-layanan publik yang penting, hampir US$14 juta per tahun.

Di satu sisi, kabar tak sedap itu tentu dibantah oleh pihak Adaro.

Boy Thohir, sang Chief Executive Officer (CEO) tentu membantah tuduhan yang sekonyong-konyong ditujukan kepada perusahaannya. Bahkan melalui keterangan resminya, dia secara blak-blakan mengklaim sebagai perusahaan publik Adaro menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan patuh terhadap aturan yang berlaku, termasuk aturan perpajakan.

Tak hanya itu, selama bertahun-tahun Adaro juga terpilih sebagai WP yang menerima apresiasi dan penghargaan atas kontribusinya terhadap penerimaan negara. Dengan kata lain, mereka mengatakan sebagai perusahaan yang patuh dan responsive.

“Perlu kami sampaikan bahwa Coaltrade Services Internasional Pte. Ltd merupakan salah satu grup Adaro yang berbasis di Singapura untuk memasarkan batu bara di pasar internasional (ekspor),” tegas pihak Adaro.

Dalam posisi ini, terlepas dari bagaimana kasus Adaro itu bermuara, tentu dugaan yang membelit korporasi tambang tersebut tidak bisa dianggap remeh. Apalagi, kalau mau jujur, saat ini pemerintah sedang berupaya mati-matian untuk memperbaiki kinerja penerimaan dan menambal celah-celah penggerusan pajak.

Oleh karena itu menarik juga untuk mencermati tanggapan pemerintah atas munculnya laporan tersebut. Secara khusus, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menteri yang memberikan penghargaan kepada korporasi itu, menegaskan bahwa jika ada data-data lain yang mengonfirmasi kebenaran kabar tersebut tentunya akan dilihat oleh Ditjen Pajak.

“Kan pada hari-hari ini sudah cukup transparan dan efektif hubungan antaryurisdiksi. Jadi sebetulnya data-data itu pasti nanti bisa kita verifikasi,” ucapnya belum lama ini.

TEMUAN ASET

Belum selesai dugaan skandal tersebut, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2018 yang dipublikasikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan juga mengungkapkan fakta lain terkait proses pencatatan aset milik korporasi batu bara lainnya.

Dalam LHP itu, lembaga auditor negara menyebutkan LKPP audited tahun 2018 hanya menyajikan tanah sebesar Rp2,9 triliun yang berasal dari enam kontraktor yaitu PT Berau Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, dan PT Kendilo Coal Indonesia. Sedangkan untuk PT Tanito Harum Kontraktor tidak melakukan pembelian tanah.

Atas permasalahan tersebut, BPK pun merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan sejumlah langkah, di antaranya pertama, melakukan rekonsiliasi unit dan nilai aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) antara DJKN dan PPBMN dengan SKK Migas, serta menindaklanjuti hasilnya tersebut pada pencatatan aset KKKS sesuai ketentuan yang berlaku.

Kedua, melaksanakan inventarisasi aset KKKS. Sengkarut korporasi tambang tentu menambah sisi kelam industri pertambangan batu bara.

Seiring dengan temuan itu, Kementerian Keuangan pun siap melakukan koordinasi dengan Dirjen Minerba dan Sekjen Kementerian ESDM untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK.

Namun demikian, sebenarnya kalau mau jujur sengkarut lahan maupun perpajakan di sektor tambang bukan suatu yang baru.

Publikasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maret lalu mengungkapkan, sektor batu bara memang memiliki posisi yang rumit.

Menurut mereka, dengan pertumbuhan yang cepat dalam 20 tahun terakhir, sektor batu bara telah menjadi salah satu sumber utama pendanaan politik di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Kebutuhan terhadap modal yang besar, keterkaitan erat dengan peraturan pemerintah, adanya royalti dan pajak serta ketergantungan terhadap infrastruktur pemerintah untuk mengirimkan batu bara ke pasar menjadikan sektor ini terpapar korupsi politik, dalam bentuk perdagangan pengaruh, political capture dan regulatory capture.

Dengan posisinya yang sangat strategis karena menjadi sumber pendanaan, perusahaan pertambangan batu bara harus berurusan dengan pejabat publik, yang kemudian mendorong “perselingkuhan” antara perusahaan, birokrat dan politisi.

Tentu saja, dalam posisi ini, kita tentu berharap hipotesa JATAM sebagai angin lalu. Namun demikian, untuk membersihkan “nama baik” dan kelangsungan sektor ini, perlu juga diimbangi langkah konkret dari pihak-pihak terkait.

Edi Suwiknyo

edi.suwiknyo@bisnis.com 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *