Hanya 3 hari menjelang implementasinya, secara mendadak Pemerintah menarik kembali Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce), yang telah ditetapkan dan diundangkan pada 31 Desember 2018.

Dalam pernyataan resminya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berdalih, regulasi yang sedianya akan berlaku pada 1 April 2019 terpaksa dibatalkan dikarenakan masih ada kesimpangsiuran informasi, termasuk terdapat kekeliruan pemahaman seolah aturan tersebut melahirkan pajak baru yang dikenakan bagi para pebisnis e-commerce.

Pencabutan itu dianggap sebagai jalan tengah, sekaligus memberikan waktu yang lebih panjang bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi lebih intensif dan membereskan polemik yang muncul serta melakukan sejumlah penyempurnaan yang diperlukan.

Dengan pencabutan PMK tersebut, tentunya perlakuan perpajakan bagi setiap kegiatan ekonomi digital atau e-commerce tetap mengacu pada ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.

Sesuai dengan aturan yang ada, pelaku usaha pengguna platform e-commerce dengan penghasilan mencapai Rp4,8 miliar per tahun dikenai pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet usaha. Ketentuan ini berlaku sama bagi pebisnis konvensional. Tidak ada perbedaan.

Jika diteliti lebih jauh, konten dari PMK yang dibatalkan itu terbilang normatif. Tidak ada jenis pajak yang baru yang diatur dalam regulasi tersebut. Aturan itu semata-mata hanya menegaskan kepada para pebisnis e-commerce untuk mematuhi kewajiban membayar pajak sesuai ketentuan, seperti pajak penghasilan(PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), serta pajak penjualan atas barang mewah(PPnBM). Intinya pemerintah ingin memperkuat kepatuhan para wajib pajak.

Bagaimanapun harus diakui sampai sekarang masih banyak usaha kecil dan menengah(UKM) yang belum memiliki kepatuhan yang memadai terkait dengan kewajiban membayar pajak. Meskipun, pemerintah telah memangkas tarif pajak dari 1% menjadi 0,5%, pada kenyataannya tak sedikit pebisnis UKM yang menghindar dari kewajibannya.

Padahal, dengan adanya sistem transaksi elektronik yang berkembang sangat pesat sekitar satu dasawarsa terakhir – ditandai a.l. dengan munculnya banyak penyedia platform marketplace – jumlah UKM yang memiliki omzet di atas Rp4,8 miliar terus bertambah, dan semakin banyak.

Dengan penghasilan sebesar itu, UKM-UKM tersebut diharapkan memiliki kesadaran untuk tercatat sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Akan tetapi, faktanya masih banyak UKM beromzet diatas Rp4,8 miliar yang belum memiliki kepatuhan dan kesadaran untuk membayar pajak. Jangankan tercatat sebagai PKP, bahkan banyak diantaranya belum memiliki nomor pokok wajib pajak(NPWP).

Oleh karena itu, salah satu tujuan yang hendak dicapai pemerintah lewat implementasi Permenkeu Nomor 210/PMK.010/2018 yakni memberikan kemudahan bagi pelaku e-commerce dalam pemenuhan kewajiban pajak, disamping tentunya menjaga kesetaraan perlakuan perpajakan dengan pelaku perdagangan konvensional.

Namun, harus diakui pula, konten PMK tersebut juga masih mengandung beberapa kelemahan yang memicu polemik, terutama terkait dengan ketentuan yang mewajibkan penyedia platform marketplace untuk melaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak berupa rekapitulasi transaksi perdagangan yang dilakukan oleh pedagang dan/atau penyedia jasa.

Terlebih dalam aturan itu, penyedia platform marketplace juga bertindak sebagai agen setor pajak yakni perpanjangan tangan dari Direktorat Jenderal Pajak untuk mengumpulkan, mendata, dan menyetor data pajak.

Ketentuan tersebut menimbulkan polemik dan keberatan dari para penyedia platform marketplace, karena akan menambah beban biaya operasional dan investasi infrastruktur tambahan yang cukup besar.

Pada saat bersamaan, muncul kekhawatiran para pelaku e-commerce akan berpindah ke media social seperti facebook dan Instagram yang sejauh ini belum diatur dalam regulasi perpajakan.

Dengan semua kondisi tersebut, memang sudah selayaknya pemerintah menarik kembali Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 dan menindaklanjuti dengan sejumlah langkah.

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah adalah membangun sistem dan infrastruktur berbasis digital yang dapat terkoneksi langsung dengan segala platform marketplace, sehingga setiap transaksi dapat terpantau, terdata dan terhimpun tanpa membebani pihak penyedia platform marketplace.

Sebab, pada dasarnya, di era e-commerce saat ini, permasalahan terbesar dalam urusan perpajakan bukanlah siapa objek wajib pajaknya, melainkan bagaimana cara memungut pajaknya. Dan, tentunya cara pemungutannya harus pula dilakukan secara digital, tanpa membebani pihak lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *