Bisnis, JAKARTA- Produsen garmen, PT Selaras Kausa Busana terancam masuk dalam belenggu kepailitan, setelah gagal menjalani proses restrukturisasi utang melalui mekanisme penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

PT Selaras Kausa Busana dimohonkan PKPU oleh PT Vicky Expressindo ke Pengadilan Negeri (PN) Niaga Jakarta Pusat dengan perkara 30/Pdt.Sus PKPU/2019/PN Niaga Jkt.Pst pada 8 Febuari 2019.

 Namun, hingga pemunggutan suara pada 30 April 2019, perusahaan itu tak kunjung memberi proposal perdamaian kepada para krediturnya. Padahal,pengurus dan hakim pengawas sudah memberi tambahan waktu untuk PKPU tetap kepada Selaras Kausa Busana sebagai debitur.

 Salah satu pengurus PKPU Selaras Kausa Busana Sexio Yuni Noor Sidqi mengatakan bahwa hingga waktunya pemunggutan suara, debitur juga tidak mengajukan proposal perdamaiannya. Selain itu , imbuhnya, debitur tidak hadir dalam rapat bersama kreditur sehingga para kreditur mayoritas bersikap menolak memberi perpanjangan PKPU Tetap kepada debitur. “Sebelumnya, mereka sudah diberikan kesempatan tambahan waktu 14 hari, lalu tiba waktunya pemunggutan suara pada 30 April 2019 mereka tidak hadir dan tidak ada proposal perdamaian. Kreditur mayoritas tidak memberikan memberikan perpanjangan PKPU Tetap lagi kepada debitur” kata Sexio kepada Bisnis, Kamis (2/5).

Dalam rapat bersama para kreditur yang beragendakan pemungutan suara,lanjutnya, hadir kreditur separatis dan kreditur konkuren. Satu kreditur separatis, yakni PT Bank KEB Hana Indonesia menyatakan menolak untuk berdamai dengan debitur. Adapun, kreditur lain, yakni tiga kreditur konkuren bersedia memberi kesempatan kepada debitur untuk perpanjangan masa restrukturasi utang, sedangkan sisanya tidak setuju ada perpanjangan waktu PKPU.

“Syarat 2/3 tagihan konkuren tidak terpenuhi, maka sama hawas (hakim pengawas) saat itu diberikan waktu perpanjangan (14 hari), tetapi mereka , debitur tidak menyampaikan juga proposal. Karena tidak ada perubahan, ya sesuai UU, pailit ya”, ujarnya. Selain kreditur konkuren, rapat yang beragendakan pemungutan suara tersebut juga dihadiri oleh para karyawan Selaras Kausa Busana. Pengurus memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menyampaikan pendapatnya, kendati mereka tidak bisa ikut serta dalam pemungutan suara.

Para karyawan, kata Sexio ,yang mengajukan tagihan sebanyak 650 karyawan dan mereka akan diikutsertakan dalam tagihan pada kepailitan. “Nanti saat pailit, kami membuka tagihan pendaftaran lagi. Sekarang belum bisa karena mereka masih sengketa PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) dan belum diputuskan ,” ucapnya.

Terhadap perkembangan yang terjadi pada pemungutan suara , jelasnya, pengurus akan melaporkannya ke hakim pengawas. Selanjutnya, hakim pengawas akan memberi rekomendasi kepada majelis pemutus. Ditangan majelis pemutus nantinya ditentukan apakah PKPU berakhir damai atau pailit. Menurutnya, putusan terhadap hasil rapat kreditur tersebut akan dilaksanakan oleh majelis hakim pemutus pada Senin (6/5) di Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat.

TAGIHAN

Adapun, total tagihan utang Selaras Kausa Busana mencapai Rp 123,36 miliar, yang tersebar pada Kreditur separatis, konkuren, dan preferen. Pemilik tagihan piutang separatis adalah KEB Hana Indonesia sebanyak Rp 20,63 miliar. Selanjutnya , tagihan piutang konkuren sebanyak 14 kreditur yang mencapai Rp 15,57 miliar. Para kreditur konkuren tersebut adalah Yuliana Situmorang, PT Wings Global Logistics, PT Sahasa Prima Niaga, Jong UK Lee, PT dongju Raya Indonesia, PT Tae Jong Indonesia, dan PT Obor Setia Indah. Kemudian, kreditur konkuren lain adalah PT Vicky Expressindo, Jean paiaman Manurung, Pt Bosung Indonesia, PT Gaya Makmur Indonesia, Jauhari, A Freddy H. Manurung dan Sri Rahayu.

Sementara itu, ada empat kreditur preferen dengan tagihan mencapai Rp 87,42 miliar, yang berasal dari kantor pajak, Serikat Pekerja Nasional Kota Bekasi, dan Lima Belas Buruh Non Serikat. Ketika dihubungi terpisah, Kuasa Hukum Selaras Kausa Busana Anggi Putra Kusuma belum bersedia memberi keterangan kepada Bisnis.

Namun, sebelumnya dia menyatakan berkeberatan dengan putusan PKPU yang membelenggu kliennya. Menurut Anggi , Pihak nya masih memiliki niat dan Itikad baik untuk menyelesaikan pembayaran kepada kreditur Vicky Expressindo.

“Kami keberatan sebenarnya atas putusan itu dan kami telah menawarkan pernyataan didalam jawaban, ada termin-termin pembayaran ke pemohon dan untuk keringanan supaya meminta mereka mencabut gugatan , tetapi mereka (Pemohon) menolak karena utang sudah terlalu lama,” kata Anggi.

Namun, dia mengutarakan bahwa setelah kliennnya diputuskan masuk PKPU Sementara, pihaknnya akan menyiapkan Proposal perdamaian dalam rapat kreditur nanti.

Disisi lain, Kuasa Hukum Vicky Expressindo, Poltak Sotarduga Tambunan Sebelumnya mengatakan bahwa kliennya terpaksa mengajukan permohonan PKPU karena Selaras Kausa Busana memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih mencapai lebih dari Rp 1 miliar lebih, sudah kami tagih-tagih (Ke Selaras Kausa Busana) tetapi tidak dibayarkan,’’ Kata Poltak.

Dalam perjalanan waktu, pengadilan kemudian mengabulkan permohonan Vicky Expressindo pada 6 maret 2019 karena Selaras Kausa Busana terbukti memiliki utang yang jatuh tempoh dan dapat ditagih. Selaras Kausa Busana sebelumnya sempat lolos dari permohonan serupa yang diajukan oleh PT Dong Ju Raya Indonesia, perusahaan pembuatan karton boks.

Permohonan PKPU itu terpaksa diajukan oleh Dong Ju Raya Indonesia ke pengadilan dengan perkara No.13/pdt.Sus-PKPU/2019/PN Niaga Jkt.Pst pada 11 Januari 2019 karena utangnya senilai Rp 66 juta belum dilunasi oleh selaras Kausa Busana.

Dong Ju Raya Indonesia dalam memohonkan PKPU tidak sendiri. Perusahaan yang berloksi dikawasan industry, MM2100 Blok MM 3-2 Desa Jatiwangi, Cikarang Barat, Bekasi tersebut mengandeng PT Obor Setia Indah , Produsen jarum mesin dan rajut sebagai syarat Kreditur lain dalam permohonan PKPU.

Namun, dalam perjalanan waktu, permohonan PKPU dari Dong Ju Raya Indonesia dan Obor Setia Indah tersebut kandas dipengadilan, setelah majelis hakim dalam putusannya menolak permohonan kedua perusahaan ,pada siding putusan 8 Febuari 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *