Bisnis, JAKARTA – Tren tindak pidana perpajakan terus meningkat di tengah upaya pemerintah mewujudkan transparansi di sektor keuangan.
Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengatakan bahwa peningkatan indikasi adanya tindak pidana perpajakan merupakan dampak dari intensitas kerja sama antara PPATK dengan Direktorat Jenderal Pajak.
Menurut dia, kedua lembaga memang cukup intens melakukan kerja sama memerangi berbagai kejahatan perpajakan untuk meminimalisir praktik-praktik kejahatan perpajakan.
“Makanya di dalam data kita, ada peningkatan yang cukup besar dalam indikasi adanya tindak pidana pajak (tax fraud),” kata Dian kepada Bisnis, Rabu (11/9).
Kendati demikian, dia menyanggah jika sektor keuangan menjadi sarang kejahatan pajak. Posisi sektor keuangan, katanya, hanya sebatas media untuk transaksi, misalnya yang dilakukan korporasi atau pihak tertentu yang memang perlu menggunakan sistem keuangan.
Karena menggunakan sektor keuangan, jelasnya, transaksi-transaksi tersebut kemudian diidentifikasi oleh lembaga intelijen keuangan. Setelah diidentifikasi, kalau ditemukan adanya indikasi kejahatan pajak, PPATK bakal memberikan data kepada penyidik Ditjen Pajak.
“Jadi intinya, itu hasil kerja sama dua institusi. Termasuk supaya tindak lanjut pidana pajak bisa diselesaikan secara tuntas termasuk pencucian uangnya,” tegasnya.
Berdasarkan data PPATK yang dipublikasikan belum lama ini menunjukkan bahwa sampai juni 2019 jumlah laporan keuangan mencurigakan yang terkait dengan dugaan pidana perpajakan mencapai 738 laporan. Jumlah itu naik 47,3% dari periode yang sama tahun lalu yang hanya 501 laporan.
Dengan jumlah laporan tersebut, indikasi kejahatan perpajakan menempati posisi nomor empat, berada di bawah penipuan dengan 3.998 laporan, korupsi 2.165 laporan, dan perjudian 1.767 laporan.
Kendati demikian, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menyebutkan, peningkatan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang cukup tinggi yakni 47% tak bisa dijadikan tolak ukur peningkatan tindak pidana perpajakan, mengingat LTKM itu sifatnya baru indikasi.
“Kami tentunya menunggu Laporan Hasil Analisis (LHA) disampaikan dan kita tindaklanjuti untuk mengungkap terjadinya tindak pidana perpajakan,” kata Yoga kepada Bisnis, Rabu (11/9).
Yoga melanjutkan, melalui LHA, otoritas pajak akan melakukan analisa kembali dan cek ke SPT WP yang bersangkutan. Apabila dalam proses tersebut terdapat ketidaksesuaian data dengan pelaporan WP, Ditjen Pajak akan mengambil sejumlah tindakan.
Meski demikian, langkah yang akan dilakukan otoritas pajak tidak serta merta menyeret WP yang tak patuh itu ke ranah pidana perpajakan. Mereka lebih mengedepankan pendekatan lebih lunak misalnya meminta WP untuk klarifikasi, himbauan pembetulan SPT, atau pemeriksaan, baru terakhir penyidikan pajak.
“Dalam hal tertentu dimana indikasinya adalah terjadinya penerbitan faktur pajak fiktif, penyidikan pajak memang di kedepankan.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan peningkatan jumlah transaksi mencurigakan yang terkait dengan dugaan tindak pidana perpajakan menunjukkan bahwa peran PPATK dalam mengidentifikasi kasus-kasus perpajakan sangat strategis.
Menurut Yustinus, tindak pidana perpajakan merupakan predicat crime dari tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dengan peran dari PPATK yang mampu mengidentifikasi jumlah rekening atau transaksi-transaksi yang dianggap tidak wajar, ditambah dengan peran Ditjen Pajak, bukan tidak mungkin peran lembaga tersebut dalam mengatasi kejahatan perpajakan lintas negara akan semakin efektif.
“Pidana perpajakan adalah predicat crime untuk TPPU, jadi sinergi sangat mungkin dilakukan,” kata Yustinus, belum lama ini.
Namun demikian, Yustinus menyoroti dominasi kasus yang masih terdiri dari kasus-kasus konvensional, misalnya faktur fiktif dan perilaku wajib pajak (WP) yang tidak menyetorkan pajak yang dipungut dan dipotong. Sebagai sebuah kejahatan yang sudah sangat lazim dan terkesan primitif, seharusnya jenis kejahatan tersebut bisa diatasi.(Edi Suwiknyo)
Sumber: Bisnis Indonesia, Kamis, 12 September 2019