Kalau publik jeli mencermati argumentasi pemerintah dan substansi dalam sunset policy, kebijakan ini hanya dalih untuk memfasilitasi wajib pajak yang asetnya ketahuan lewat AEOI.

Edi Suwiknyo, Bisnis.com, 30 Juni 2021

Bisnis.com, JAKARTA — Amandemen Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sedang dibahas pemerintah. 

Menariknya, salah satu substansi yang dibahas dalam revisi UU itu akan mencakup kebijakan keringanan sanksi pajak atau sunset policy. Satu bahasan yang sebenarnya tak pernah ada dalam UU KUP existing sebelumnya. Wajar jika kemudian menuai polemik.

Usut punya usut, kebijakan sunset policy sengaja ‘disusupkan’ untuk memberikan previlege kepada wajib pajak tertentu. Informasi yang dihimpun dari sumber di pemerintahan menyebutkan ada sebagian wajib pajak atau WP yang kegerahan. Umumya WP ini tak patuh.

Maklum, pasca pengampunan pajak atau Tax Amnesty, pemerintah mulai berkomitmen untuk membuka seluruh akses informasi terkait keuangan. Kerahasian perbankan diamputasi. Setali tiga uang, implementasi automatic exchange of information (AEOI)dengan ratusan yurisdiksi diratifikasi.

Hasilnya, jutaan akun keuangan milik warga negara Indonesia (WNI) yang sebelumnya aman tersimpan di suaka pajak (tax haven) di mulai terendus. Berapa angka pastinya tidak jelas. Pada tahun 2020 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyebutkan angka 1,6 juta informasi keuangan senilai lebih dari 246,6 miliar Euro.

Meskipun belakangan, setelah dilakukan analisa dan pencocokan data surat pemberitahuan (SPT) tahunan 2019 dengan data-data pengampunan pajak, pemerintah hanya mendapatkan nilai selisih sebesar Rp451 triliun. 

Artinya kalau angka tersebut dikalikan tarif sunset policy sebesar 15 persen. Potensi penerimaan pajak yang masuk ke kantong negara hanya Rp67,8 triliun. Angka yang relatif kecil untuk sebuah kebijakan yang dipaksakan masuk dalam sebuah perubahan undang-undang.

Padahal kalau pemerintah, wabil khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati konsisten, negara bisa mendapatkan penerimaan yang lebih besar dibandingkan jumlah proyeksi resmi di angka Rp67,8 triliun.

Sebagai ilustrasi, jika angka selisih sebesar Rp451 triliun itu adalah harta atau aset yang tidak dideklarasikan atau dilaporkan saat pelaksanaan pengampunan pajak. Seharusnya, besarnya sanksi yang dikenakan kepada wajib pajak bisa di angka 200 persen. Kalau sanksi ini yang digunakan, berapa penerimaan yang diterima pemerintah? 

Cukup besar dan tentu saja kalau lagi-lagi pemerintah konsisten, penerimaan dari sanksi itu bisa digunakan untuk menambal kas negara yang kosong-melompong akibat terkuras habis untuk membiayai dampak pandemi.

Lobi-Lobi

Rupanya, ancaman sanksi 200 persen tak membuat happy wajib pajak yang hartanya konangan alias ketahuan lewat AEOI. Ada informasi yang mengatakan bahwa kalangan yang agak ketakutan dengan sanksi sebesar itu berasal dari alumni pejabat, pensiunan jenderal, hingga pengusaha tanggung.

Kelompok ini adalah sisa-sisa “Laskar Pajang” yang tak ikut program pengampunan pajak 2016-2017 lalu. 

Mereka inilah yang melobi sejumlah pejabat di pemerintahan untuk membuka kembali pintu maaf bagi para pendosa pajak. Ada nama pejabat tinggi negara sekelas menteri yang cukup berpengaruh secara politik sebagai promotor kebijakan ini. 

Soal siapa sosoknya? Tak perlu dijawab dalam tulisan ini. Tetapi kalau pembaca ngeh atau mengikuti isu ini dari awal. Siapa saja sosok yang berada di balik lobi-lobi sunset policy atau semula direncanakan tax amnesty ini sudah kelihatan dengan jelas.

Siapa yang pertama kali mencetuskan pengampunan pajak jilid II atau yang mengumumkan akan melakukan pengampunan pajak lagi? Silakan googling sendiri. 

Sunset policy konon hanya alternatif. Ini menurut klaim sejumlah pejabat di pemerintahan. Alasannya, para kelompok pengusaha sisa-sisa ‘Laskar Pajang’ itu menginginkan pengampunan pajak atau tax amnesty. Itu artinya diskon pajak gede-geden bakal kembali diterapkan. Dan kalau itu terjadi, kredibilitas pemerintahan bisa jatuh.

Pengampunan pajak adalah kebijakan yang disetel sekali seumur hidup. Tak ada istilahnya pengampunan pajak jilid II atau jilid-jilid lain laiknya demonstrasi yang dilakukan oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212. Istilah sunset policy kemudian kembali muncul. 

Selain lebih soft tak seradikal pengampunan pajak, sunset policy juga menawarkan relaksasi sanksi yang lebih tinggi dibandingkan tax amnesty. Pemerintah, melalui kebijakan tersebut, sepertinya tak mau mengobral pengampunan pajak dan hanya mengejar kepatuhan sukarela wajib pajak. Meskipun sebenarnya istilah “sukarela” itu cukup naif. Sebab kalau publik jeli mencermati argumentasi pemerintah dan substansi dalam sunset policy, kebijakan ini hanya dalih untuk memfasilitasi wajib pajak yang asetnya ketahuan lewat AEOI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *