Bisnis, JAKARTA – Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan terhadap Duniatex Group menambah deretan perusahaan tekstil yang terpaksa harus berurusan dengan hukum. Dari penelusuran Bisnis, pada tahun ini hingga 13 September 2019 secara keseluruhan ada tujuh perusahaan tekstil yang harus wara-wiri keluar masuk Pengadilan Niaga untuk meresturisasi utang-utangnya di bawah pengawasan hakim.

Perusahaan-perusahaan tersebut, tidak hanya produsen pakaian dan kain tetapi juga yang membuat benang dan kancing. Adapun, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang paling banyak mengurusi perkara PKPU perusahaan tekstil, yakni ada empat perusahaan. Mereka adalah PT. Yeyeom Design, PT. Lee Cooper Indonesia, PT. Daya Manunggal Textile, dan PT. Selaras Kausa Busana.

Selanjutnya, PN Semarang sebanyak dua perusahaan, yakni Duniatex Group dan CV Garuda Solo Perkasa. Kemudian, PN Surabaya terdapat satu perkara PKPU untuk PT. Sanda Permai Abadi. Sementara itu, dua pengadilan di Medan dan Makassar tidak ada yang menangani perkara PKPU yang melibatkan perusahaan tekstil. Dengan adanya sejumlah perusahaan tekstil yang terlibat dalam perkara PKPU, terutama enam entitas anak usaha Duniatex, takayal memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah industri tekstil di Tanah Air sudah mulai kesulitan likuiditas? Apakah ini juga pertanda industri tekstil di Tanah Air sudah mulai redup?

Industri tekstil tidak seperti bisnis perumahan dan pangan yang masing-masing telah memiliki UU. Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (Ikatsi), Suharno Rusdi mengatakan bahwa kendati terdapat beberapa pelaku bisnis tekstil yang dimohonkan PKPU, bahkan ada industri tersebut dalam posisi di titik nadir terbawah. “Bisnis tekstil itu sebetulnya masih sangat promosing (menjanjikan) asal pengelolaannya professional. Itu perusahaan di pengadilan harus dipilah-pilah, ada yang pailit karena memang kalah dalam persaingan usaha, ada pula tidak efisien, dan mismanajemen (salah urus manajemen usaha),” kata Suharno kepada Bisnis, Minggu (15/9).

Namun demikian, Suharno mengutarakan, bisnis tekstil ini tidak akan pernah redup karena kebutuhan volume pasar global tekstil mencapai US$119 miliar. Sementara itu, kata dia, Indonesia baru menyumbang sebanyak US$13,2 mliar pada 2018. “Kita dengan Vietnam dan Bangladesh saja tidak mampu bersaing. Vietnam mengisi pasar dunia hampir US$24 miliar dan China itu tahun lalu mengisi US$37,6 miliar,” kata Suharno.

DUKUNGAN PEMERINTAH

Suharno tidak memungkiri bahwa industri tekstil Indonesia yang sedang terpuruk karena masih belum penuhnya dukungan dari pemerintah untuk mengambil langkah antisipatif. Dia menyoroti, industri ini tidak seperti bisnis perumahana dan pangan yang masing-masing telah memiliki undang-undang (UU). Padahal, kata Suharno bahwa Indonesia sangat membutuhkan UU Ketahanan Sandang sebagai roadmap pengembangan industri tekstil nasional agar dapat bertarung di tingkat global.

Di sisi lain, menurutnya, perusahaan-perusahaan tekstil tersebut dibelenggu PKPU dan berakhir dengan pailit karena minimnya audit teknologi dan proses. “Ikatsi bisa membantu mereka yang di PKPU untuk membantu memberikan masukan sistem masih manual atau sudah digital, konsumsi listrik hemat atau boros, usia mesin, mesin dari mana,” ucapnya. Seperti diketahui, enam entitas anak usaha Duniatex-PT. Delta Merlin Dunia Textile, PT. Delta Dunia Tekstil, PT. Delta Merlin Sandang Tekstil, PT. Delta Dunia Sandang Tekstil, PT. Dunia Setia Sandang Asli Tekstil, dan PT. Perusahaan Dagang dan Perindustrian Damai baru saja dimohonkan PKPU oleh PT. Shine Golden Bridge di PN Semarang pada (11/9) lalu.

PKPU dimohonkan kepada anak usaha Duniatex itu karena Delta Dunia Sandang Tekstil memiliki utang kredit sindikasi senilai US$260 juta dengan bunga pinjaman senilai US$ 13,4 juta. Sebelum anak usaha Duniatex, sudah terlebih dahulu perusahaan tekstil lainnya yang terjerembab pailit alias bangkrut yakni PT. Selaras Kausa Busana. Perusahaan yang pemegang sahamnya dari Korea Selatan tersebut pailit pada 30 April 2019. Selaras Kausa Busana (SKB) menggenggam tagihan utang sebanyak Rp123,36 miliar dengan perincian Rp20,36 miliar kepada kreditur separatis, Rp 15,57 miliar kepada 14 kreditur konkuren, dan Rp 87,42 miliar kreditur preferen.

Perusahaan tersebut dimohonkan PKPU oleh mitra kerjanya karena belum menyelesaikan pembayaran atas pembelian barang. Akibatnya, kata kurator kepailitan SKB, Sexio Yunio Noor Sidqi mengatakan bahwa perusahaan berhenti beroperasional karena gaji para pekerja tidak dibayarkan sejak awal 2018 lalu. Sementara itu, perusahaan lain yang saat ini masih dalam proses persidangan PKPU adalah PT. Lee Cooper Indonesia. Pemohon PKPU adalah PT. Inovasi Inonvasi Indonesia dan Yuni Erika Sucipto dengan perkara No. 163/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN Niaga Jkt.Pst pada 29 Juli 2019. Para pemohon mengajukan tagihan piutang sebanyak Rp 77,05 juta dan kepada kreditur sebanyak Rp 46,31 juta.

Sumber: Bisnis Indonesia, Senin, 16 September 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *