Penerapan bea meterai menuai berbagai reaksi, termasuk yang bernada negatif. Di sisi lain, kebijakan ini turut menjadi peluang pemasukan bagi negara di tengah tekanan pandemi, termasuk pengadaan vaksin Covid-19.

Bisnis.com, JAKARTA – Pandemi Covid-19 memang sempat bikin banyak emiten terpukul. Namun, ibarat dua mata pisau, wabah ini juga memantik kehadiran investor-investor ritel baru yang bikin perputaran uang di pasar modal kian semarak.

Data Kustodian Sentral Evek Indonesia (KSEI) per 10 Desember 2020, menyebutkan dari Rp3.491 triliun kepemilikan saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), sebanyak 50,44 persen di antaranya dimiliki investor ritel domestik.

Dari rata-rata nilai transaksi harian secara tahunan (year-to-date/ytd) Januari-November 2020, yang berjumlah Rp8,42 triliun, sekitar 45,9 persen di antaranya juga bersumber dari transaksi yang dilakukan investor ritel. Ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Pemerintah, pada saat yang sama, seolah membaca peluang tersebut sebagai potensi pemasukan kas negara. Meski belum akan berlaku per awal tahun depan lantaran masih dalam tahap persiapan, lewat Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hendak menaikkan bea meterai untuk trade confirmation (TC) tanpa batasan nilai nominal menjadi Rp10.000 per dokumen.

TC adalah laporan yang diterima nasabah pada hari yang sama (24 jam) setelah nasabah melakukan transaksi efek, baik jual maupun beli. “Trade confirmation ini adalah dokumen elektronik maka bea meterainya nanti juga harus bea meterai yang sifatnya elektronik. Saat ini kami masih mempersiapkan keseluruhan infrastruktur,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam konferensi virtual, Senin (21/12/2020).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *